KONSEP DIRI REMAJA
PASCA KETERGANTUNGAN NARKOBA
SKRIPSI
Oleh :
SITI ROIKHANAH
NIM BO7208146
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2012
KONSEP DIRI REMAJA
PASCA KETERGANTUNGAN NARKOBA
SKRIPSI
Diajukan kepada
Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh
Gelar Sarjana
Psikologi (S. Psi)
Oleh :
SITI ROIKHANAH
NIM BO7208146
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN
AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2012
ABSTRAKSI
Siti Roikhanah, 2012. "Konsep Diri Remaja Pasca
Ketergantungan Narkoba".
Hurlock (dalam Effendi, 2004: 27) mengungkapkan bahwa konsep
diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi karakteristik
fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan prestasi. Konsep diri dilihat
sebagai faktor penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Ahli ini juga
menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian merupakan aspek penting
terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Adapun beberapa
faktor yang mempengaruhi konsep diri individu, khususnya konsep diri remaja
yaitu Orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan pengalaman atau belajar.
Maka masalah yang difokuskan dalam skripsi ini adalah: 1)
Bagaimana konsep diri remaja pasca mengalami ketergantungan narkoba? 2)
Bagaimana peran orang tua dan lingkungan sosial dalam membentuk konsep diri
remaja pasca ketergantungan narkoba?
Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dan jenis penelitian studi kasus. Teknik yang digunakan
dalam mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang
diperoleh melalui pengumpulan data tersebut, kemudian dianalisis dengan
menggunakan reduksi data, display data dan verifikasi. Analisis studi kasus
penelitian ini yaitu dengan
cara mendeskripsikan dan menjelaskan atau menggambarkan keadaan suatu subyek
penelitian berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan atau apa adanya.
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Suryalaya
Koordinator Wilayah Jawa Timur Jl. Benteng No. 5 Surabaya yang merupakan pusat dari
salah satu tempat layanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba
di Jawa Timur yaitu Pondok Inabah XIX Surabaya Jl. Raya Semampir No. 43-47, Semolowaru, Surabaya dengan menggunakan 1
subyek penelitian yaitu remaja pasca ketergantungan narkoba yang telah selesai
menjalani proses rehabilitasi dan 1 significant
others yaitu orang yang memiliki kedekatan dengan subyek selama lebih dari
1 tahun.
Dari analisis data tersebut didapat kesimpulan bahwa subyek
berkonsep diri positif saat berada di lingkungan pondok karena di lingkungan
itu subyek mendapatkan penilaian positif dari orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan sebaliknya, di lingkungan keluarga memberikan penilaian negatif
terhadap diri subyek, maka ia berkonsep diri negatif pula.
Kata Kunci : Konsep Diri, Remaja Dan
Narkoba
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa
remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia,
menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2002: 3). Menurut
Sarwono (2003: 8) remaja dalam arti adolescence
yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti
kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.
Anak
remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan
anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja
ada di antara anak dan dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi
fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih tergolong
kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat (Monks, 2006:
259).
Pertumbuhan
anak menjelang dan selama masa remaja ini menyebabkan tanggapan masyarakat yang
berbeda pula. Mereka diharapkan memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi
berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak
yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi
tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja
terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006: 268).
Remaja
mencoba-coba mencari ciri khasnya agar berbeda dengan orang lain. Ingin
menentukan sendiri siapa diri mereka agar diakui oleh lingkungan keluarga (Wirawan,
2003: 24). Pemikiran mereka semakin abstrak, logis dan idealistis, lebih
menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain
pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau
dunia sosial (Santrock, 2002: 10).
Remaja
biasanya tidak mau diatur harus begini atau harus begitu oleh orang tua
sehingga terjadi pertengkaran antara orang tua dan anak remajanya karena
perbedaan pendapat (Wirawan, 2003: 24). Hal ini menimbulkan banyak pertentangan
dengan orang tua, sehingga antara orang tua dan anak terjadi jarak yang
menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai
masalahnya (Hurlock, 1983: 208).
Apabila
orang tua dapat memahami maksud dan keinginan mereka tentunya pertengkaran
tidak akan terjadi. Karena kedekatan remaja dengan orang tua dapat menunjang
pembentukan kompetensi sosial dan keberadaan remaja secara umum, serta
mempengaruhi harga diri, kematangan emosional dan kesehatan secara fisik,
sehingga kenyamanan hubungan dengan orang tua menimbulkan kepuasan bagi remaja
yang akhirnya berpengaruh terhadap terbentuknya harga diri (Widianingsih &
Nilam, 2009: 11).
Anak
remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu
selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat
berpijak. Anak remaja ini cenderung mulai menghilang dari rumah, lebih suka
gelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempat-tempat lain
(Kartono, 1998: 60). Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama
teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh
teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih
besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1983: 213). Sama halnya dengan
minum, penggunaan obat-obatan dimulai sebagai kegiatan kelompok sebaya
(Hurlock, 1983: 223).
Kebanyakan
remaja menjadi pengguna narkoba pada suatu masa tertentu pada perkembangan
mereka. Hal yang memperihatinkan adalah karena remaja khususnya menggunakan
obat-obatan sebagai cara untuk mengatasi stres, sehingga nampak bahwa hal ini
dipengaruhi oleh kurangnya perkembangan keterampilan menghadapi masalah secara
kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock: 2002, 21).
Brook,
dkk (dalam Santrock: 2002, 21) yakin bahwa langkah awal dalam penyalahgunaan
obat-obatan dikalangan remaja terletak jauh pada tahun-tahun awal masa
anak-anak, ketika anak-anak gagal menerima pengasuhan orang tua mereka dan
tumbuh dalam keluarga yang mengalami konflik. Anak-anak ini gagal
menginternalisasikan kepribadian, sikap-sikap, dan perilaku orang tua mereka,
dan kemudian membawa ketiadaan ikatan orang tua ini ke masa remaja. Ciri-ciri
remaja seperti kurangnya orientasi konvensional dan ketidakmampuan mengendalikan
emosi, kemudian diekspresikan dalam pergaulan dengan teman-teman sebaya
pengguna obat-obatan, yang akhirnya menyebabkan mereka sendiri juga menggunakan
obat-obatan. Remaja cenderung menggunakan obat-obatan bila kedua orang tua
mereka menggunakan obat-obatan atau teman-teman mereka menggunakan obat-obatan
(Santrock: 2002, 21-22).
Penelitian
yang dilakukan oleh Hawari (1996: 148), diperoleh data yang mana umumnya kasus
penyalahgunaan NAZA mulai memakai NAZA pada usia remaja (13-17 tahun) sebanyak
97% dan usia termuda 9 tahun. Penelitian mengenai apa yang membuat remaja mulai
menggunakan obat-obatan menunjukkan bahwa beberapa alasan lain disamping nilai
simbol status obat-obatan. Banyak remaja terdorong untuk membebaskan diri dari
segala larangan keluarga (Hurlock, 1983: 224).
Dapatlah
diketahui bahwasanya faktor seorang remaja menggunakan narkoba, yaitu karena
ada faktor pribadi, faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor-faktor
itu seperti tuntutan orang tua tehadap prestasi anak, tekanan orang tua
terhadap berbagai kegiatan yang harus diikuti anak, dan kekecewaan anak akan
ketidakberhasilannya dalam suatu hal. Faktor-faktor yang seperti inilah yang
menyebabkan timbulnya kenakalan remaja, salah satunya penyalahgunaan narkoba
(Gunarsa, 2001: 182-184).
Individu
pengguna narkoba tidak dapat semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai
faktor lingkungan diluar dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan
kecenderungan tingkah laku yang khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya
(Adelina, 2008: 17). Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa pengguna
narkoba adalah orang yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah
(Widianingsih & Nilam, 2009: 10). Baik pengguna maupun mantan pengguna,
cenderung merasa dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungannya, sulit
mencari pekerjaan, dan sulit bersosialisasi dalam masyarakat sehingga mereka
cenderung menarik diri dari lingkungannya (BNN, 2011: 93).
Dalam
proses berinteraksi dengan masyarakat remaja harus mempunyai konsep diri yang
stabil. Hal ini memberi perasaan kesinambungan dan memungkinkan remaja
memandang diri sendiri dalam cara yang konsisten, tidak memandang diri sendiri
hari ini berbeda dengan hari lain. Ini juga meningkatkan harga diri (self esteem) dan memperkecil rasa tidak
mampu (Hurlock, 1983: 235).
Brooks
(dalam Santi & Ludmila, 2005: 41) menyatakan bahwa konsep diri merupakan
aspek kepribadian yang penting, serta merupakan pandangan dan perasaan tentang
diri kita. Konsep diri merupakan bagian yang sangat penting bagi diri seseorang,
karena bila seseorang mempunyai konsep diri positif maka individu akan menerima
kenyataan dari segala keterbatasannya sehingga mampu mengadakan penyesuaian
terhadap lingkungan (Santi & Ludmila, 2005: 41).
Konsep
diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan
menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan termasuk faktor
bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman
individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya (Djudiyah & Salis,
2010: 17).
Pada
masa anak-anak konsep diri yang dipunyai seseorang biasanya berlainan dengan
konsep diri yang dipunyainya ketika ia memasuki usia remajanya. Konsep diri itu
sebetulnya terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang
lain terhadap dirinya. Pada seorang anak, ia mulai belajar berpikir dan
merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam
lingkungannya, misalnya orang tuanya, gurunya ataupun teman-temannya (Gunarsa:
2003, 237-238).
Pada
dasarnya, konsep diri itu tersusun dari dua tahapan, yaitu konsep diri primer
dan konsep diri sekunder. Konsep diri primer adalah dimana konsep ini terbentuk
atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan
rumahnya sendiri. Sedangkan konsep diri sekunder ditentukan oleh bagaimana konsep diri
primernya (Gunarsa: 2003, 238).
Remaja mantan pengguna adalah orang
yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah. Mereka cenderung merasa dikucilkan oleh masyarakat
sekitar lingkungannya, sulit mencari pekerjaan, dan sulit bersosialisasi dalam
masyarakat sehingga mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya (BNN,
2011: 93). Bila masyarakat
menerima keadaan tersebut, maka kemungkinan konsep diri anak bisa berjalan
dengan baik, akan tetapi bila didukung oleh penerimaan sosial dan lingkungan
secara negatif akan menjadi pandangan pribadi dalam menilai diri negatif pada
diri anak kelak (Mu’awanah & Rifa, 2004: 81).
Pelabelan terhadap hal yang negatif
bagi diri inilah yang dapat mengakibatkan adanya konsep diri yang negatif bagi
individu. Konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba terbentuk dari
pengetahuan dirinya sendiri baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan
teman-teman. Faktor orang tua, kawan sebaya dan masyarakat yang memberikan anggapan
bahwa remaja mantan pengguna narkoba tidak diinginkan dalam masyarakat dan
tidak disenangi orang lain. Hal ini yang menunjukkan penilaian atau evaluasi
yang sebagian besar cenderung kearah konsep diri negatif (Pardede, 2008: 151).
Memang
benar bahwa pada masa terbetuknya konsep diri seorang remaja, banyak faktor
yang mempengaruhinya. Faktor lingkungan, bagaimana reaksi orang lain terhadap
dirinya atau tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas segala prestasi yang
dibuatnya ataupun segala hukuman atas segala kesalahan-kesalahannya yang akan
membentuk suatu konsep tentang dirinya sendiri (Gunarsa: 2003, 242).
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti konsep diri remaja
pasca ketergantungan narkoba.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Diri
1. Pengertian
Konsep Diri
Pengertian
konsep diri dapat dipahami bila terlebih dahulu kita mengerti tentang self (diri) itu sendiri. Self merupakan kemampuan yang dirasa dan
diyakini benar oleh seseorang mengenai dirinya sebagai seorang individu; ego
dan hal-hal yang dilibatkan didalamnya (Kartono, 1987: 440). Menurut Rogers
(dalam Schultz, 1991: 49) diri adalah dalam dan luas, karena diri itu
mengandung semua pikiran dan perasaan yang mampu diungkapkan orang itu. Diri
itu juga fleksibel dan terbuka kepada semua pengalaman baru. Tidak ada bagian
dari diri dilumpuhkan atau terhambat dalam ungkapannya (Schultz, 1991: 49).
William
D. Brooks (dalam Rakhmat, 2005: 99) mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological
perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our
interaction with others”, yakni konsep diri adalah pandangan dan perasaan
kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologis,
sosial dan fisis (Rakhmat, 2005: 100).
Menurut
Hurlock (dalam Effendi, 2004: 27) konsep diri merupakan penilaian terhadap
dirinya sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional,
aspirasi, dan prestasi. Konsep diri dilihat sebagai faktor penting dalam
berinteraksi dengan orang lain. Ahli ini juga menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian merupakan aspek penting
terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Chaplin
(1993: 450) mengemukakan bahwa konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri
sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang
bersangkutan. Konsep diri terbentuk karena ada interaksi individu dengan
individu lain disekitarnya. Hal yang dipersepsi individu tentang dirinya, tidak
terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang individu
(Ellyawaty & Hari, 2007: 35).
Konsep
diri (self concept) mengacu pada
evaluasi bidang spesifik dari diri sendiri. Individu dapat membuat evaluasi
diri dalam banyak bidang kehidupan mereka seperti akademis, penampilan dan
lain-lain. Secara ringkas konsep diri mengacu pada evaluasi bidang yang lebih
spesifik (Santrock, 2002: 356). Ada dua
komponen konsep diri, yakni komponen kognitif dan komponen selektif. Komponen
kognitif disebut self image (citra
diri). Sedangkan komponen efektif disebut self
esteem (harga diri) (Rakhmat, 2005: 100).
Konsep
diri menurut Fitts (dalam Usman & Fuad, 2008: 185) adalah bagaimana diri
diamati, dipersepsi dan dialami oleh individu tersebut. Selain itu makna konsep
diri mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku seseorang
berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis
diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama-tama dan berkaitan denga
penampilan fisik, daya tariknya dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan
jenis kelamin serta pentingnya berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga
dirinya dimata orang lain. Sedangkan citra psikologis diri sendiri didasarkan
atas pikiran, perasaan dan emosi. Citra ini terdiri dari kualitas dan kemampuannya
yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-sifat, seperti keberanian,
kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan
kemampuan (Djudiyah & Salis, 2006: 18).
Calhoun
(dalam Djudiyah & Salis, 2006: 18) mengemukakan konsep diri adalah suatu
konstruk yang mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman hidup manusia seperti
cara berfikir, emosi, persepsi dan perilaku individu. Konsep diri menurut
Pietrofesa (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 78) meliputi semua nilai, keyakinan
terhadap diri seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan dan merupakan
panduan diri sejumlah persepsi diri yang mempengaruhi bahkan menentukan
persepsi dan tingkah laku. Sedangkan menurut Mc Candless (dalam Mu’awanah &
Rifa, 2004: 78) konsep diri merupakan seperangkat harapan dan penilaian
perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut.
Berdasarkan
pada pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri merupakan
penilaian terhadap dirinya sendiri tentang seluruh aspek kepribadian yang terbentuk
karena ada interaksi individu dengan individu lain disekitarnya, yang mempengaruhi
bahkan menentukan persepsi, tingkah laku dan interaksinya dengan orang lain.
2. Perkembangan Konsep Diri
Bee (dalam Mu’awanah & Rifa,
2004: 79) mengungkapkan bahwa konsep diri berkembang secara dinamis dengan
adanya interaksi dengan individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep
diri berkembang pada diri seseorang bermula saat anak mengobservasi fungsi
dirinya sendiri seperti apa yang mereka lihat pada orang lain. Misalnya apabila
ada seorang guru mengatakan secara terus menerus pada seorang anak muridnya
bahwa ia kurang mampu, maka lama kelamaan anak akan mempunyai konsep diri
semacam itu (Gunarsa, 2003: 238).
Konsep diri berdasarkan
perkembangannya menurut Hurlock (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 79) ada 2,
yaitu konsep diri primer dan konsep diri sekunder. Konsep diri primer adalah
konsep diri yang terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan
dengan anggota keluarga yang lain seperti orang tua dan saudara. Konsep diri
sekunder adalah konsep diri yang terbentuk oleh lingkungan luar rumah, seperti
teman sebaya atau teman bermain. Jadi, apabila konsep diri primer yang dipunyai
seseorang adalah bahwa ia tergolong sebagai orang pendiam, penurut, tidak nakal
atau tidak suka untuk membuat keributan-keributan, maka ia akan cenderung pula
memilih konsep diri yang sudah dipunyainya itu dan teman-teman barunya itulah
yang nantinya menunjang terbentuknya konsep diri sekunder (Gunarsa, 2003: 239).
Berkaitan dengan hal tersebut maka
sebenarnya keluarga dan interaksi lingkungan memiliki peran yang sangat besar
terhadap perkembangan konsep diri sebab pertama kali anak berkomunikasi dan
berinteraksi dengan keluarga. Setelah keluarga berperan dan anak berinteraksi
dengan lingkungan sosial yang lebih luas maka anak juga berpengaruh, karena
konsep diri tersebut bersifat dinamis dan bisa berubah terutama bila lingkungan
mendukung untuk terjadinya perubahan konsep diri tersebut (Mu’awanah &
Rifa, 2004: 79).
3. Dimensi Konsep Diri
Menurut
Rogers (dalam Corsini, 1994: 361), konsep diri memiliki beberapa dimensi antara
lain:
a. Konsep
diri pribadi (personal self concept)
Konsep
ini terjadi dari aspek-aspek karateristik tingkah laku, dan identitas yang
meliputi gender, budaya, usia, dan sosial-ekonomi.
b. Konsep
diri sosial (social self concept)
Merupakan
deskripsi sifat atau tingkah laku yang dipikirkan tentang bagaimana ia dilihat
oleh orang lain.
c. Diri
ideal menurut konsep diri pribadi (self
ideal regarding one’s personal self concept)
Merupakan
gambaran pribadi yang diharapkan oleh individu tersebut, jadi merupakan suatu
cita-cita atau angan-angan yang ingin dicapai oleh individu berkaitan dengan
citra dirinya.
d. Dirinya
ideal menurut konsep diri sosial seseorang (self
ideal regarding one’s social self concept)
Merupakan
gambaran tentang bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain.
e. Evaluasi
hasil perbandingan antara konsep diri ideal dari sudut pribadi (evaluations of descriptive personal self
conceptions in relation to ideals for self regarding those attributes)
f.
Evaluasi hasil perbandingan antara konsep diri
yang nyata dengan yang ideal dari sudut sosial (evaluations of descriptive personal self conceptions in relation to
ideals for one’s social self concepts)
Konsep
diri akan berkembang kearah positif apabila antara yang ideal dengan
sesungguhnya banyak terdapat kesamaan atau terjadi sinkronisasi.
Menurut
Calhoun (dalam Djudiyah & Salis, 2010: 18) konsep diri terdiri dari 3
dimensi, yaitu:
a. Pengetahuan
(knowledge)
Pengetahuan
seseorang tentang dirinya sendiri, yakni sejumlah label yang melekat pada diri
seseorang yang menggambarkan orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin,
kewarganegaraan, termasuk juga label sosial seperti: democrat, miskin, golongan
menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen
dari pengetahuan seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat
kualitatif, karena bersifat relatif tergantung pada kelompok pembandingnya.
b. Harapan
(expectation)
Harapan
ini mengacu pada ideal self, yaitu
harapan terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan
(I-should-be). Konsep diri selalu
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya.
c. Evaluasi
(evaluation)
Penilaian
seseorang atas dirinya sendiri, yakni menilai antara “I could be” dan “I should be”,
atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang seharusnya” dan “saya
yang kenyataannya”. Hasil dari pengukuran ini akan mengahasilkan apa yang
disebut self esteem. Semakin besar
jarak antara keduanya maka self esteemnya akan semakin rendah.
Evaluasi
ini merupakan komponen kekuatan yang cukup ekstrim dari konsep diri, karena
evaluasi ini akan muncul berbagai jenis konsep diri sebagai gambaran dari
derajat nilai konsep diri seseorang. Namun deskripsi tentang konsep diri
positif ataupun negatif disini adalah bersifat ekstrim, dimana seseorang bisa
saja berada diantaranya atau bersifat moderat (Djudiyah & Salis, 2010: 19).
Adanya
beberapa dimensi diatas, akan mempermudah untuk mendeskripsikan seseorang
mempunyai ciri konsep diri positif ataupun konsep diri negatif, atau seseorang
itu bisa saja berada diantara keduanya yaitu konsep diri yang bersifat
moderat.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut
Hurlock (1983: 235) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang,
yaitu:
a. Usia
kematangan
Dimana
individu yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang dewasa,
mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Individu yang terlambat kematangannya, diperlakukan seperti
anak-anak merasa salah dimengertikan dan bernasib kurang baik sehingga
cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b. Penampilan
diri
Penampilan
diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang
ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang melakukan
yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya daya tarik fisik
menimbulkan penilaiaan yang menyenangkan tentang diri kepribadiaan dan menambah
dukungan sosial.
c. Kepatuhan
seks
Kepatuhan
seks dalam penampilan, minat dan perilaku membantu individu mencapai konsep
diri yang baik. Ketidakpatuan seks membuat individu sadar diri dalam hal ini
membari perhatian buruk pada perilakunya.
d. Nama
dan julukan
Dimana
individu peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk
bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
e. Hubungan
keluarga
Seorang
individu yang mempunyai hubungan yang erat dengan seseorang anggota keluarga
akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola
kepribadiannya yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, individu akan tertolong
untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
f.
Teman-teman sebaya
Teman-teman
sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam dua cara. Pertama, konsep
individu merupakan cermin dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang
dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri
kepribadiaan yang diakui oleh kelompok.
g. Kreatifitas
Individu
yang sesama kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam
tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individu dan identifikasi yang
memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya remaja yang sejak
awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan
kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
h. Cita-cita
Bila
remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan.
Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan, dimana
ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realitas akan
kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalannya. Ini
akan menimbulkan kepercayaan diri yang besar yang memberikan konsep diri yang
baik.
Menurut Baldwin dan Holmes (dalam
Pardede, 2008: 147), terdapat beberapa faktor pembentuk konsep diri, khususnya
konsep diri remaja, yakni:
a. Orang tua
Orang
tua sebagai kontak sosial yang paling awal yang kita alami, dan yang paling
kuat, apa yang dikomunikasikan orang tua pada anak lebih menancap daripada
informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya.
B. Kawan sebaya
Kawan
sebaya menempati kedudukan kedua setelah orangtuanya dalam mempengaruhi konsep
diri, apalagi perihal penerimaan atau penolakan, peran yang diukir anak dalam
kelompok sebayanya mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang
dirinya sendiri.
C. Masyarakat
Masyarakat
yang menganggap penting fakta-fakta kelahiran dimana akhirnya penilaian ini
sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri.
D. Belajar
Dimana
muncul konsp diri bahwa konsep diri adalah hasil belajar. Dan belajar
didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi
dalam diri kita dari pengalaman.
Beberapa faktor ini sangat
mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada individu, jika faktor yang diterima
individu positif akan membentuk konsep diri yang positif, sedangkan jika faktor
yang diterima oleh individu negatif maka akan membentuk konsep diri yang
negatif pula.
5. Macam-macam
Konsep Diri
Coopersmith (dalam Mu’awanah &
Rifa, 2004: 78-79) mengemukakan bahwa tingkat konsep diri ada 3 macam:
a. Konsep diri tinggi (positif)
Konsep
diri ini akan membuat anak kreatif, mandiri, ekspresif dan percaya diri.
b. Konsep diri menengah
Individu cenderung bergantung pada
kelompok dan orang lain.
c. Konsep diri rendah (negatif)
Yaitu
bagaimana cara orang memandang terhadap dirinya yang lemah, tidak berdaya,
tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik,
bahkan kadang merasa tidak disukai oleh orang lain dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup.
6.
Ciri–ciri
Konsep Diri Positif dan Negatif
Ciri-ciri konsep diri positif antara lain:
a. Yakin
akan kemampuannya untuk mengatasi masalah
b. Merasa
setara dengan orang lain
c. Menerima
pujian tanpa rasa malu
d. Menyadari
bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang seluruhnya
disetujui oleh masyarakat.
e. Mampu
memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian
yang tidak disenanginya dan berusaha untuk merubahnya (Rakhmat, 1994: 105).
Menurut Rogers (dalam Usman & Fuad, 2008: 184) konsep
diri positif antara lain:
a. Kemampuan
menyesuaikan diri dengan baik
b. Pengetahuan
luas
c. Harga
diri tinggi
d. Tidak
mudah menyerah
e. Selalu
ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna
f.
Dan memiliki pola perilaku optimis
Apabila individu memiliki beberapa ciri-ciri diatas, maka
konsep diri yang dimiliki individu tersebut adalah positif.
Sebaliknya konsep diri negatif ditandai dengan:
a. Peka
terhadap kritikan
b. Responsif
sekali terhadap pujian
c. Bersikap
terlalu kritis terhadap orang lain
d. Merasa
tidak disenangi oleh orang lain
e. Bersikap
pesimis terhadap kompetisi (Rakhmat,
1994: 105).
Menurut Rogers (dalam Usman & Fuad, 2008: 184) konsep
diri yang negatif antara lain:
a. Individu
merasa dirinya tidak diperlukan, tidak diterima, dan tidak kompeten
b. Menganggap
dirinya kurang mampu
c. Takut
menghadapi hal-hal yang baru
d. Kurang
berani memenuhi tuntutan hidupnya
e. Bersikap
defensif
f.
Dan sering menyalahkan orang lain.
Apabila individu memiliki beberapa ciri-ciri diatas, maka
konsep diri yang dimiliki individu tersebut adalah rendah atau negatif.
B.
Remaja
1. Pengertian
Remaja
Remaja
dari bahasa latin adolescence yang
artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah ini
mencakup arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik
(Hurlock, 1983: 235). Menurut Sarwono (2003: 52) masa remaja adalah masa
peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi
juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan
gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan
psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik.
Secara
tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, meningginya emosi remaja
disebabkan kerana remaja dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi ganda.
Sedangkan selama masa kanak-kanak remaja kurang mempersiapkan diri untuk
menghadapi tekanan-tekanan itu (Hurlock, 2002: 212).
Remaja
adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa atau masa usia belasan tahun
atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur,
mudah terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2003: 2). Menurut Sarwono
(2003: 8) remaja dalam arti adolescence
yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti
kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.
Anak
remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan
anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja
ada di antara anak dan dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi
fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih tergolong
kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat (Monks, 2006:
259).
Percepatan
pertumbuhan anak menjelang dan selama masa remaja ini menyebabkan tanggapan
masyarakat yang berbeda pula. Mereka diharapkan memenuhi tanggung jawab orang
dewasa, tetapi berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya
masih ada jarak yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja
dalam memenuhi tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik
batin pada remaja terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa
(Monks, 2006: 268).
Jadi,
bisa dikatakan bahwa remaja adalah pertumbuhan anak menjadi dewasa, pertumbuhan
itu mencakup pertumbuhan fisik, psikis dan sosialnya.
2.
Fase-fase
pada Remaja
Fase-fase perkembangan pada remaja menurut Monks (2006: 262)
antara lain :
a. Remaja
awal (early adolescence)
Berada pada rentang usia 12 sampai 15
tahun. Masa dimana remaja merasakan kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah
dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal sulit
mengerti dan di mengerti orang dewasa (Sarwono, 2003: 25).
b. Remaja
tengah (midlle adolescence)
Dengan rentang usia 15 tahun sampai 18
tahun. Pada tahap ini sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak
teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”,
yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat yang
sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia
tidak tahu harus memilih yang mana, peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau
sendiri, idealis atau materialis dan sebagainya (Sarwono, 2003: 25).
c. Remaja
akhir (late adolescence)
Berkisar antara usia 18 tahun sampai 21
tahun. Pada tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa (Sarwono,
2003: 25)
3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havinghurs
(dalam Sarwono, 2003: 40-41) sebagai berikut:
a. Menerima kondisi fisik dan
memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
b. Menerima hubungan yang lebih matang
dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.
c. Menerima peran jenis kelamin
masing-masing (laki-laki atau perempuan).
d. Berusaha melepaskan diri dari
ketergantungan emosi terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.
e. Mempersiapkan karir ekonomi.
f.
Mempersiapkan
perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
g. Mencapai sistem nilai dan etika
tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Menurut Gunarsa (2001: 129-131)
tugas-tugas perkembangan remaja, yaitu:
a. Menerima keadaan fisiknya
b. Memperoleh kebebasan emosionalnya
c. Mampu bergaul
d. Menemukan model identifikasi
e. Mengetahui dan menerima kemampuan
sendiri
f.
Memperkuat
pengusaan diri atas dasar skala nilai dan norma
g. Meningkatkan reaksi dan cara
penyesuaian kekanak-kanakan
C.
Dinamika
Remaja dan Narkoba
Peristiwa makin
banyaknya penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya narkoba dikalangan
pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan
keluarga-keluarga di Indonesia. Melihat kenyataan dilapangan bahwa semakin
banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya
pengaruh narkoba dalam kehidupan remaja di Indonesia. Yang perlu diwaspadai,
kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan remaja kita ibarat
fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagaian kecil saja,
sementara kejadian sebenarnya sudah begitu banyak (Mardiya, 2010: 2).
Penelitian yang
dilakukan oleh Hawari (1996: 148), diperoleh data yang mana umumnya kasus
penyalahgunaan NAZA mulai memakai NAZA pada usia remaja (13-17 tahun) sebanyak
97% dan usia termuda 9 tahun. Dari hasil data yang diperoleh pada periode
triwulan I tahun 2012 Badan Narkotika Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa
sebagian besar jumlah tersangka penyalahgunaan narkoba adalah 511 atau 51, 9%
dari tingkat pendidikan tersangka SMA, sedangkan urutan ke-2 tersangka dengan tingkat
pendidikan SMP sebanyak 289 atau 29, 4% (BNP, 2012: 18).
Perlu dicermati dan
diperhatikan bahwa tersangka terbesar adalah pendidikan SMA karena masa SMA
merupakan masa remaja yang penuh gejolak dalam mencari jati diri sehingga
jiwanya labil dan mudah terpengruh, oleh karena itu perlu diberi penyuluhan
atau pembinaan tentang narkotika dan dampak buruk penyalahgunaan narkoba. Hal
ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah korban penyalahgunaan narkoba
pada tingkat pendidikan SMA meningkat 136 orang atau 13,8% bila dibandingkan
dengan tahun 2011 sebanyak 375 orang (BNP, 2012: 19).
1.
Faktor-faktor
Penggunaan Narkoba
Ada beberapa alasan penyebab seseorang itu mulai atau
meneruskan pemakaian narkotika adalah sebagai berikut:
a. Karena
didorong oleh rasa ingin tahu dan iseng
b. Agar
supaya diterima dikalangan tertentu
c. Untuk
melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
d. Untuk
menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan disebabkan suatu problem yang tidak
bisa diatasi dan jalan pikiran buntu.
e. Untuk
menetang atau melawan sesuatu otoritas (orang tua, guru, hukum) (Prakoso dkk.,
1987: 492-493).
Sedangkan faktor utama yang mempengaruhi penyalahgunaan
narkotika adalah:
a. Pemakaian
untuk tujuan coba-coba
Mencoba obat sekali atau beberapa kali
setelah itu menghentikan sama sekali.
b. Pemakaian
untuk iseng
Pemakaian obat secara terputus-putus tanpa
menimbulkan ketergantungan baik kejiwaan maupun jasmaniah.
c. Pemakaian
karena ketergantungan
Pemakaiaan obat disini untuk memperoleh
kembali pengaruh obat bersangkutan atau untuk menyembuhkan rentetan gangguan
jasmaniah karena kompleks gejala akibat pantang (Prakoso dkk., 1987: 492-493).
2.
Akibat
Penggunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba dapat merusak
kesehatan seseorang baik secara jasmani, mental maupun emosional.
Penyalahgunaan tersebut menimbulkan gangguan pada perkembangan normal
seseorang, daya ingat, perasaan, persepsi dan kendali diri. Karena penggunaan
narkoba akan diikuti oleh perubahan pikiran, perasaan, dan perilaku maka
hal-hal yang dalam kondisi normal tidak akan dilakukan seseorang, setelah
memakai narkoba tersebut tidak ada yang tidak mungkin ia lakukan termasuk
melukai atau membunuh orang. Bahkan dapat merubah pribadi orang yang berwatak
lembut menjadi perilaku yang penuh kekerasan (BNP, 2010: 18).
Adapun dampak penyalahgunaan narkoba secara
psikologis antara lain:
a.
Emosi labil atau tidak terkendali
b.
Kecenderungan untuk selalu berbohong
c.
Tidak memiliki tanggungjawab
d.
Hubungan dengan keluarga, guru, dan teman serta
lingkungan terganggu
e.
Cenderung menghindari kontak komunilkasi dari
orang lain
f.
Merasa dikucilkan atau menarik diri dari
lingkungan
g.
Tidak peduli dengan nilai atau norma yang ada
h.
Menimbulkan gangguan konsentrasi pikiran dan
sulit berfikir
i.
Cenderung apatis atau tak acuh, adanya kegaduhan
(hilaritas), rasa khawatir (anxietas), perasaan tertekan, gelisah, agresif,
memiliki rasa gembira yang berlebihan (euphoria), mudah terpengaruh dan
memiliki rasa curiga.
j.
Menurunnya semangat bahkan bisa tidak memiliki
semangat juang (syndrom amotivasional)
k.
Menimbulkan ilusi, depresi, kebingungan, dan
gerakan menjadi lamban
l.
Gangguan jiwa psikotis seperti skizofrenia (BNP,
2010: 20-26).
Pengguanaan secara berkali-kali narkotika
juga membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan
ini bisa ringan dan bisa berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur,
kenyataan sampai beberapa jauh ia bisa lepaskan diri dari penggunaan itu.
Ketergantungan itu antara lain:
a. Ketergantungan psikis (psychological dependence)
Adanya keinginan atau dorongan pada diri
individu yang semakin besar akan rasa kebutuhannya terhadap narkotika.
Kebutuhan itu untuk memperoleh perasaan
senang (eupnone). ketergantungan
psikologis ditandai dengan timbulnya keadaan lupa pada si pemakai. Sehingga ia
dapat melepaskan diri dari konflik yang tidak bisa ia atasi. Penggunaan
narkotika itu kerap kali mempertahankan ketegangan antara orang itu dengan
masyarakat sekitarnya, ia makin tidak dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya
(Prakoso dkk., 1987: 494).
b. Ketergantungan
fisik (physical dependence)
Penggunaan yang terus-menerus akan
menimbulkan berkurangnya kepekaan terhadap bahan itu badan menjadi terbiasa
sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau toterance.
Akhirnya efek akan bertambah terus dan tidak dapat dihentikan (Prakoso dkk.,
1987: 494-495).
Menurut Hawari (1999: 140), secara umum mereka yang
menyalahgunakan NAZA dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
a. Ketergantungan
primer
Ditandai dengan adanya kecemasan dan
depresi, yang umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian yang tidak stabil.
b. Ketergantungan
sistomatis
Pengalahgunaan NAZA sebagai salah satu
gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang
dengan kepribadian psikopatik (antisosial), kriminal, dan pemakaian NAZA untuk
kesenangan semata.
c. Ketergantungan
reaktif
Terutama terdapat pada remaja karena
dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan teman kelompok sebaya (peer group pressure).
D.
Kerangka
Teoritik
Individu pengguna
narkoba tidak dapat semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai faktor
lingkungan diluar dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan kecenderungan
tingkah laku yang khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya (Adelina, 2008:
17). Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa pengguna narkoba adalah orang
yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah (Widianingsih & Nilam,
2009: 10). Baik pengguna maupun mantan pengguna, cenderung merasa dikucilkan
oleh masyarakat sekitar lingkungannya, sulit mencari pekerjaan, dan sulit
bersosialisasi dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menarik diri dari
lingkungannya (BNN, 2011: 93).
Bila masyarakat menerima keadaan tersebut, maka kemungkinan
konsep diri anak bisa berjalan dengan baik (positif), akan tetapi bila didukung
oleh penerimaan sosial dan lingkungan secara negatif akan menjadi pandangan
pribadi dalam menilai diri negatif pada diri remaja kelak (Mu’awanah
& Rifa, 2004: 81).
Menurut Hurlock (dalam
Effendi, 2004: 27) konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri
yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan
prestasi. Konsep diri dilihat sebagai faktor penting dalam berinteraksi dengan
orang lain. Ahli ini juga menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian
merupakan aspek penting terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Baldwin dan Holmes (dalam Pardede, 2008: 147),
menjelaskan beberapa faktor pembentuk konsep diri, khususnya konsep diri
remaja, yakni: Orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan pengalaman atau
belajar. Faktor-faktor ini yang akan mempengaruhi bagaimana terbentuknya konsep
diri seseorang.
Rogers (dalam Usman
& Fuad, 2008: 184) mendefinisikan konsep diri ke dalam dua bagian yaitu
konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif berhubungan
erat dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan baik, pengetahuan luas, harga
diri tinggi, tidak mudah menyerah, selalu ingin mencoba pengalaman baru yang
dianggapnya berguna dan memiliki pola perilaku optimis. Sedangkan konsep diri
yang negatif akan membuat individu merasa dirinya tidak diperlukan, tidak
diterima, tidak kompeten, menganggap dirinya kurang mampu, takut menghadapi
hal-hal yang baru dan kurang berani memenuhi tuntutan hidupnya serta sering
bersikap defensif dan menyalahkan orang lain.
Gambar
2.1 : Kerangka Teoritik
BAB III
METODE
PENELITIAN
Metode adalah cara atau
jalan (Sobur, 2003: 42). Dalam konteks ilmiah, metode menyangkut masalah cara
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Sobur, 2003: 42). Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang
digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah berarti
kegiatan itu dilandasi oleh metode keilmuan (Sugiyono, 1998: 1). Menurut Jujun S. Suriasumantri (dalam Sugiyono,
1998: 1) metode keilmuan ini merupakan gabungan antara pendekatan rasional dan
empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir yang koheren dan
logis, sedangkan pendekatan empiris memberikan kerangka pengujian dalam
memastikan suatu kebenaran. Dengan cara ilmiah itu, diharapkan data yang akan
didapatkan adalah data yang obyektif, valid dan reliabel.
A.
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2009: 3)
mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, motivasi,
tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa. Pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini studi kasus. Poerwandari (2005: 108) menyatakan
bahwa studi kasus adalah suatu fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks
yang terbatasi (bounded context),
meski batas-batas anatara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Menurut
Bungin (2001: 30) sifat studi kasus adalah pendekatan yang bertujuan untuk
mempertahankan keutuhan (wholeness)
dari obyek penelitian, dalam arti obyek dipelajari sebagai suatu keseluruan
yang terintegrasi.
Pendekatan studi kasus
membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan integritasi mengenai
interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari,
2005: 108). Gambaran subtansial dari penelitian studi kasus ini sesuai obyek
penelitian ini yaitu berupa konsep diri remaja khususnya remaja yang pasca
ketergantungan narkoba yang tergambar melalui tingkah laku yang nampak oleh
remaja tersebut. Obyek penelitian berada pada kondisi alami dan tidak
dimanipulasi atau diberikan perlakuan tertentu.
Data yang akan
dikumpulkan cenderung tidak teratur, karena data tersebut merupakan perilaku
yang menjadi kebiasaan remaja tersebut dalam sehari-hari. Data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, kalimat-kalimat, rekaman perilaku, dan dokumen melalui
pengamatan dilapangan, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis secara
induktif untuk mendapatkan makna yang eksplisit tentang konsep diri remaja
tersebut.
Berdasarkan
alasan-alasan inilah khususnya sifat dan hakekat data konsep diri remaja yang
merupakan perilaku yang nampak menjadi kebiasaan sehari-hari maka penelitian
ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Sebab dengan metode studi kasus
ini akan dimungkinkan peneliti untuk memahami subyek secara pribadi dan
memandang subyek sebagaimana subyek penelitian memahami dan mengenal dunianya sendiri.
B.
Kehadiran
Peneliti
Melakukan penelitian
studi kasus pada hakekatnya adalah untuk memperoleh pemahaman utuh dan
terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus
tersebut (Poerwandari, 2005: 10). Peneliti merupakan instrument utama. Oleh
sebab itu, kehadiran dan keterlibatan peneliti pada penelitian ini sangat
diperlukan dalam situasi sesungguhnya.
Kehadiran peneliti bukan
hanya sebagai pengamat penuh yang mengobservasi berbagai kegiatan yang
dilakukan subyek penelitian. Tetapi juga
untuk memperjelas dan memahami subyek tersebut, maka dari itu dilaksanakan pula
wawancara secara mendalam pada subyek diluar jam kegiatan pondok atau jam
sekolah.
Berkaitan dengan hal ini
tentu saja kehadiran peneliti ini akan diketahui oleh subyek. Peneliti
mengamati dan mewawancarai subyek selama kurang lebih dua bulan, yaitu mulai
tanggal 20 April-20 Juni. Waktu selama kurang lebih dua bulan tersebut
dipandang telah dapat mengumpulkan data yang dibutuhkan, selain itu memang
adanya keterbatasan waktu bagi peneliti.
Kehadiran peneliti dalam
penelitian ini merupakan partisipan yang dilakukan langsung oleh peneliti di
pondok karena subyek lebih banyak menghabiskan waktunya di pondok dari pada di
rumah. Hal ini bertujuan untuk melakukan observasi perilaku pada diri subyek
yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan kondisi lingkungananya.
Untuk memperoleh data
yang lebih lengkap, maka selain dilakukan wawancara secara mendalam kepada
subyek, peneliti juga melakukan wawancara pada pengurus-pengurus pondok yang
kesehariannya bersama dengan subyek dan memahami betul keadaan subyek.
C.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Pondok Pesantren Suryalaya Koordinator Wilayah Jawa Timur Jl.
Benteng No. 5 Surabaya yang merupakan pusat dari salah satu tempat layanan
terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di Jawa Timur yaitu
Pondok Inabah
XIX Surabaya Jl. Raya Semampir No. 43-47,
Semolowaru, Surabaya.
Pondok pesantren ini
dibawah Yayasan Serba Bakti dan diasuh oleh KH.Moch.
Ali Hanafiyah Akbar yang digunakan sebagai tempat
tindak lanjut atau binaan lanjutan setelah selesai menerima binaan di Pondok
Inabah XIX Surabaya yang sudah terkenal dengan metode
terapinya yaitu metode dzikir Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah.
Fungsi dari terapi dzikir
lanjutan ini bisa diibaratkan bagaikan tumbuhan yang keluar kuncupnya sehingga
perlu dilakukan penyiraman secara terus menerus untuk menumbuhkan kekokohan
jiwanya. Namun bagi anak bina yang tidak mengikuti terapi dzikir
lanjutan masih sangat rentan untuk kembali terjun dan terjerumus dalam
komunitas narkoba.
Progam lanjutan ini
berupa majlis dzikir rutin dan manaqiban yang diadakan sebulan sekali di
Ahad yang kedua. Majlis dzikir dilakukan oleh seluruh jama’ah KH.
Muhammad Ali Hanafiah Akbar. Selain anak bina peserta yang mengikuti majlis dzikir
tersebut, banyak dihadiri oleh warga sekitar dan dari luar kota. Dikarenakan
KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar selaku Pembina Koordinator Wilayah Timur
Indonesia, maka jama’ah yang menghadiri sangat banyak. Adapun jadwal majlis dzikir
dan manaqiban sebagai berikut:
Tabel 3.1 : Jadwal
Kegiatan Rutin Majlis Dzikir dan Manaqiban
Hari
|
Waktu
|
Jenis Kegiatan
|
Lokasi
|
Ahad dan Kamis
|
18.00-selesai
|
Majlis Dzikir
|
Jl. Benteng No.5A
|
Ahad ke-2
|
08.00-selesai
|
Manaqiban
|
Jl. Semampir
|
KH.
Muhammad Ali Hanafiah Akbar juga menerima secara langsung konseling bagi alumni
pondok pesantren jika ada yang perlu ditanyakan. Banyak orang baik dari umum
dan alumni anak binaan meminta tausiyah
dari KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar agar memotivasi dalam menjalani kehidupan
sehari-hari.
Pondok
ini terletak tidak jauh dari wisata religi Sunan Ampel Surabaya, kira-kira 20 m
dari bundaran Jl. Benteng. Menghadap utara langsung ke arah jalan raya, sebelah
kanan pondok ada pegadaian dan kiri pondok terdapat perkampungan, sedangkan
belakang pondok terdapat pabrik atau plumas.
Gambar 3. 2 : Peta Lokasi 1
Gambar 3. 3 : Peta
Lokasi 2
Bangunan pondok terlihat
seperti rumah mewah, tidak seperti pondok pesantren lainnya. Pondok ini, selain
memiliki kegiatan khas juga dimanfaatkan sebagai tempat manasik haji atau
kegiatan penting lainnya. Terdiri dari 3 lantai, yaitu lantai pertama, terdapat
kurang lebih 30 kamar yang disediakan untuk santri, pengurus, dan tamu. Ada
ruang tamu, kantor, beberapa kamar mandi, bagasi mobil, dapur dan taman. Lantai
ke-2 dan ke-3 adalah aula yang digunakan sebaga tempat kegiatan pengajian atau
pertemuan-pertemuan penting. Dan setiap aula dilengkapi kamar mandi
masing-masing.
Peraturan pondok ini sama
halnya dengan pondok lain yang bisa keluar masuknya dengan izin terlebih dahulu
kepada pengurus. Hanya saja pondok ini memiliki kegiatan khusus yang melekat
menjadi kekhasan tersendiri.
Suasana di pondok ini
sepi dan terjaga sangat aman karena tidak sembarang orang yang bisa masuk. Tamu
pun yang masuk pondok ini harus lapor dulu ke pos keamanan. Kecuali malam
Jum’at, malam Senin dan Ahad pagi suasana pondok ini sangat ramai, karena
masyarakat berdatangan untuk mengikuti pengajian, baik dari dalam dan luar kota
bahkan ada yang datang dari luar Jawa.
Pondok Pesantren
Suryalaya digunakan sebagai tempat penelitian ini dikarenakan di pondok ini sebagai tempat
tindak lanjut bagi anak bina yang sudah sembuh dari proses rehabilitasi
ketergantungan narkoba. Salah satu santri di pondok ini adalah seorang remaja,
hal ini tentu saja menarik peneliti, karena tema penelitian ini mengisyaratkan
remaja pasca ketergantungan narkoba sehingga diharapkan akan diperoleh data
yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
D.
Sumber
Data
Menurut Loffand dan
Loffand sebagaimana dikutip Moleong (2009: 157), sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan dan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian:
1. Kata-kata
dan tindakan
Kata-kata
dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancara merupakan sumber data
utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis, melalui rekaman Hp.
2. Sumber
tertulis
Walaupun
dikatakan bahwa sumber diluar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas
hal itu tidak bisa diabaikan. Sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu sumber buku, jurnal, majalah, dan dokumen resmi.
Sumber
tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen resmi. Dokumen
resmi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tes psikologi dari
subyek.
Menurut Sarantakos
(dalam Poerwandari, 1998: 53), prosedur pengambilan sampel dalam penelitian
kualitatif umumnya menampilkan karakteristik: (1) diarahkan tidak pada jumlah
sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah
penelitian; (2) tidak ditentukan sejak awal, tetapi dapat berubah bak dalam hal
jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang
berkembang dalam penelitian; dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam
arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks.
Pengambilan subjek dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara memilih subyek dan informan berdasarkan
kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan
subyek secara purposif (berdasarkan kriteria tertentu), maka peneliti dapat
menentukan subyek yang sesuai dengan tema penelitian.
Adapun kriteria utama
dari subyek penelitian adalah sebagai berikut:
1. Subyek
merupakan seorang remaja yang pernah mengalami ketergantungan narkoba dan sudah
sembuh dari proses rehabilitasi.
2. Sehat
jasmani dan rohani.
3. Bersedia
menjadi subyek penelitian.
Adapun
kriteria utama dari significant others
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki
kedekatan dengan subyek
2. Telah
mengenal subyek dan mengetahui kesehariannya selama lebih dari 1 tahun.
E.
Prosedur
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama
dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan
data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang
ditetapkan (Sugiyono, 2010: 62).
Prosedur pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi
(Subagyo, 1997: 63) adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sitematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan
pencatatan. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005: 118) tujuan observasi
adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang
berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian
dilihat dari perspektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati
tersebut.
Penelitian
ini menggunakan observasi partisipasi pasif, dimana peneliti datang ke tempat
subyek penelitian, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan
oleh subyek penelitian tersebut. Observasi dilakukan di tempat remaja tinggal
yaitu Pondok Pesantren Suryalaya Surabaya.
Catatan
lapangan disusun oleh peneliti saat melakukan observasi. Catatan lapangan
berisi tentang hal-hal yang diamati, apapun yang dianggap oleh peneliti
penting. Catatan lapangn ditulis secara deskriptif, diberi tanggal waktu, dan
dicatat dengan menyertakan informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan,
siapa yang hadir disana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial,
dan aktifitas apa yang berlangsung, dan sebagainya (Poerwandari, 1998: 71).
2. Wawancara
Metode
wawancara (Bungin, 2001: 133) adalah proses memperoleh keterangan untuk
bertujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide)
wawancara.
Wawancara
kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik
yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu
hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Poerwandari, 1998: 72).
Penelitian
ini menggunakan teknik wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara
ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencatumkan
isu-isu yang harus diliput tanpa menetukan urutan pertanyaaan, bahkan mungkin
mengingatkan peneliti pengecek (checklist)
apakah aspek-aspek relevan telah dibahas atau ditanyakan.
3. Dokumentasi
Dokumentasi
atau dokumenter (Bungin, 2001: 152) adalah salah satu metode pengumpulan data
yang digunakan untuk menulusuri data sebagian besar datanya adalah berbentuk
surut-surat, catatan harian, kenang-kenangan, laporan dan sebagainya. Sifat
utama dari data ini adalah tak terbatas ruang dan waktu sehingga member peluang
kepada peneliti untuk hal-hal yang telah silam.
Dokumen
sebagai sumber untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah berbagai dokumen
seperti hasil tes psikologi serta berbagai dokumen lain yang dimiliki subyek.
Maksud
lain dari teknik dokumentasi ini adalah untuk menjaring data yang terjaring
melalui teknik wawancara dan observasi.
F.
Analisis
Data
Teknik analisis data
dalam penelitian ini, menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Miles
dan Huberman (Sugiyono, 2010: 91) dengan langkah-langkah sebagai berikut;
1. Reduksi
data
Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal
yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian
data (display data)
Setelah
data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data. Melalui
penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola
hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori. Dan yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah teks yang bersifat naratif.
3. Verifikasi
Langkah
ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukankan masih bersifat sementara dan masih dapat
berubah.
Gambar 3. 4 : Alur Proses Analisis Data
G.
Pengecekan
Keabsahan Temuan
Untuk memperoleh temuan
dan interpretasi data yang absah (trustworthiness)
maka perlu adanya upaya untuk melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data
yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan beberapa kriteria pengecekan keabsahan data antara lain:
1. Uji
kredibilitas
Uji
kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini dilakukan dengan:
a. Triangulasi
Menurut Moleong (2009: 330) yaitu teknik
keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan data yang diperoleh dengan sumber atau
kriteria yang diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Bentuk
triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber
dan metode. Triangulasi sumber yaitu dengan cara membandingkan apa yang
dikatakan oleh subyek dengan yang dikatakan informan dengan maksud agar data
yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber
saja yaitu subyek penelitian, tetapi juga dapat diperoleh dari sumber lain
seperti pengurus pondok sebagai orang terdekat subyek. Untuk triangulasi
metode, yaitu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan. Dalam hal ini peneliti berusaha mengecek kembali data yang diperoleh
melalui wawancara.
b. Kecukupan
referensial
Menggunakan bahan referensi yaitu referensi
yang utama berupa buku-buku psikologi yang berkaitan dengan konsep diri. Hal
ini dimaksudkan agar data yang diperoleh memiliki dukungan dari teori-teori
yang telah ada.
c. Pengecekan
anggota
Hal ini dimaksudkan selain untuk mereview
data juga untuk mengkorfirmasikan kembali informasi atau interpretasi peneliti
dengan subyek penelitian maupun informan. Dalam pengecekan anggota ini, tidak semua
subyek atau informan diusahakan terlibatkan kembali, tetapi untuk informan
hanya kepada mereka yang dianggap representatif oleh peneliti seperti pengurus
pondok.
2. Uji
confirmability
kriteria
ketegasan ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data wawancara
atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan penelitian
dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat wawancara dan observasi.
Apabila diketahui data-data tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini
dipandang cukup tinggi tingkat konformabilitasnya. Untuk melihat
konformabilitas data, peneliti meminta bantuan kepada para ahli terutama kepada
dosen pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara berulang-ulang serta
dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Adelina,
I. (2008). Tipe Kepribadian pada Pengguna
NAZA. Jurnal Psikologi, 16-35.
Bungin,
B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial:
Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University
Press.
BNP.
(2010). Penyalahgunaan Narkoba dan Upaya
Penanggulangannya. Surabaya: Badan Narkotika Provinsi Jawa Timur.
Chaplin,
C. P. (1993). Kamus Lengkap Psikologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dadang,
H. (1996). Al Qur’an: Ilmu Kedokteran
Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogjakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Gunarsa,
S. D. (2001). Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hurlock,
E. B. (1983). Psikologi Perkembangan
Suatu Pendekatann Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (1998). Patologi Sosial 2. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Kartono, K. & Dali, G. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.
Mardiya. (2010). Menyoal Penyalahgunaan Obat Terlarang Oleh Remaja. Arkhe, 15-21.
Moleong, L. J.
(2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F. J. dkk. (2006). Psikologi Perkembangan dalam Berbagai-bagiannya. Yogjakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3
UI.
Prakoso, D. S. H., Bambang, R. L., & Amir,
M. (1987). Kejahatan-kejahatan yang
Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Rakhmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Retnowati,
L, Yuli, S. S. & Meiske, Y. S. (2005). Persepsi
Remaja Ketergantungan Napza Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitas.
Arkhe 10 (2), 76-88.
Santrock,
J. W. (2002). Life Span Development
(Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga Jilid I.
Santrock,
J. W. (2003). Life Span Development (Perkembangan
Masa Hidup). Jakarta: Erlangga Jilid II.
Sarwono,
S. W. (2003). Psikologi Remaja.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Subagyo,
P. J. (2004). Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Sugiyono.
(2010). Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV. Alfabeta.
Widianingsih,
R., & Nilam, W. (2009). Dukungan
Orangtua dan Penyesuaian Diri Remaja Mantan Pengguna Narkoba. Jurnal Psikologi,
3 (1), 10-15.
Wirawan, S. W. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yusuf,
S. (2005). Psikologi Perkembangan Anak
& Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yuliana,
R. (2007). Gambaran Sosial Support
Pecandu Narkoba. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan. Tidak diterbitkan.
Pas sekali, sangat bagus makasih infonya.... yuk mari > universitas psikologi langsung aja....
BalasHapusMampir ya: Konsep Diri yang Baik dalam Psikologi