Selasa, 08 Januari 2013

KONSEP DIRI REMAJA PASCA KETERGANTUNGAN NARKOBA


KONSEP DIRI REMAJA
PASCA KETERGANTUNGAN NARKOBA

SKRIPSI
Oleh :
SITI ROIKHANAH
NIM BO7208146









INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2012




KONSEP DIRI REMAJA
PASCA KETERGANTUNGAN NARKOBA
SKRIPSI

Diajukan kepada
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh :
SITI ROIKHANAH
NIM BO7208146








INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
2012
ABSTRAKSI
Siti Roikhanah, 2012. "Konsep Diri Remaja Pasca Ketergantungan Narkoba".
Hurlock (dalam Effendi, 2004: 27) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan prestasi. Konsep diri dilihat sebagai faktor penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Ahli ini juga menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian merupakan aspek penting terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri individu, khususnya konsep diri remaja yaitu Orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan pengalaman atau belajar.
Maka masalah yang difokuskan dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana konsep diri remaja pasca mengalami ketergantungan narkoba? 2) Bagaimana peran orang tua dan lingkungan sosial dalam membentuk konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba?
Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian studi kasus. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh melalui pengumpulan data tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan reduksi data, display data dan verifikasi. Analisis studi kasus penelitian ini yaitu dengan cara mendeskripsikan dan menjelaskan atau menggambarkan keadaan suatu subyek penelitian berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan atau apa adanya.
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Suryalaya Koordinator Wilayah Jawa Timur Jl. Benteng No. 5 Surabaya yang merupakan pusat dari salah satu tempat layanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di Jawa Timur yaitu Pondok Inabah XIX Surabaya Jl. Raya Semampir No. 43-47, Semolowaru, Surabaya dengan menggunakan 1 subyek penelitian yaitu remaja pasca ketergantungan narkoba yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi dan 1 significant others yaitu orang yang memiliki kedekatan dengan subyek selama lebih dari 1 tahun.
Dari analisis data tersebut didapat kesimpulan bahwa subyek berkonsep diri positif saat berada di lingkungan pondok karena di lingkungan itu subyek mendapatkan penilaian positif dari orang-orang di sekitarnya. Sedangkan sebaliknya, di lingkungan keluarga memberikan penilaian negatif terhadap diri subyek, maka ia berkonsep diri negatif pula.



Kata Kunci : Konsep Diri, Remaja Dan Narkoba

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2002: 3). Menurut Sarwono (2003: 8) remaja dalam arti adolescence yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.
Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih tergolong kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat (Monks, 2006: 259).
Pertumbuhan anak menjelang dan selama masa remaja ini menyebabkan tanggapan masyarakat yang berbeda pula. Mereka diharapkan memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006: 268).
                                                                           
Remaja mencoba-coba mencari ciri khasnya agar berbeda dengan orang lain. Ingin menentukan sendiri siapa diri mereka agar diakui oleh lingkungan keluarga (Wirawan, 2003: 24). Pemikiran mereka semakin abstrak, logis dan idealistis, lebih menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002: 10).
Remaja biasanya tidak mau diatur harus begini atau harus begitu oleh orang tua sehingga terjadi pertengkaran antara orang tua dan anak remajanya karena perbedaan pendapat (Wirawan, 2003: 24). Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua, sehingga antara orang tua dan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya (Hurlock, 1983: 208).
Apabila orang tua dapat memahami maksud dan keinginan mereka tentunya pertengkaran tidak akan terjadi. Karena kedekatan remaja dengan orang tua dapat menunjang pembentukan kompetensi sosial dan keberadaan remaja secara umum, serta mempengaruhi harga diri, kematangan emosional dan kesehatan secara fisik, sehingga kenyamanan hubungan dengan orang tua menimbulkan kepuasan bagi remaja yang akhirnya berpengaruh terhadap terbentuknya harga diri (Widianingsih & Nilam, 2009: 11).
Anak remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Anak remaja ini cenderung mulai menghilang dari rumah, lebih suka gelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempat-tempat lain (Kartono, 1998: 60). Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1983: 213). Sama halnya dengan minum, penggunaan obat-obatan dimulai sebagai kegiatan kelompok sebaya (Hurlock, 1983: 223).
Kebanyakan remaja menjadi pengguna narkoba pada suatu masa tertentu pada perkembangan mereka. Hal yang memperihatinkan adalah karena remaja khususnya menggunakan obat-obatan sebagai cara untuk mengatasi stres, sehingga nampak bahwa hal ini dipengaruhi oleh kurangnya perkembangan keterampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock: 2002, 21).
Brook, dkk (dalam Santrock: 2002, 21) yakin bahwa langkah awal dalam penyalahgunaan obat-obatan dikalangan remaja terletak jauh pada tahun-tahun awal masa anak-anak, ketika anak-anak gagal menerima pengasuhan orang tua mereka dan tumbuh dalam keluarga yang mengalami konflik. Anak-anak ini gagal menginternalisasikan kepribadian, sikap-sikap, dan perilaku orang tua mereka, dan kemudian membawa ketiadaan ikatan orang tua ini ke masa remaja. Ciri-ciri remaja seperti kurangnya orientasi konvensional dan ketidakmampuan mengendalikan emosi, kemudian diekspresikan dalam pergaulan dengan teman-teman sebaya pengguna obat-obatan, yang akhirnya menyebabkan mereka sendiri juga menggunakan obat-obatan. Remaja cenderung menggunakan obat-obatan bila kedua orang tua mereka menggunakan obat-obatan atau teman-teman mereka menggunakan obat-obatan (Santrock: 2002, 21-22).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1996: 148), diperoleh data yang mana umumnya kasus penyalahgunaan NAZA mulai memakai NAZA pada usia remaja (13-17 tahun) sebanyak 97% dan usia termuda 9 tahun. Penelitian mengenai apa yang membuat remaja mulai menggunakan obat-obatan menunjukkan bahwa beberapa alasan lain disamping nilai simbol status obat-obatan. Banyak remaja terdorong untuk membebaskan diri dari segala larangan keluarga (Hurlock, 1983: 224).
Dapatlah diketahui bahwasanya faktor seorang remaja menggunakan narkoba, yaitu karena ada faktor pribadi, faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor-faktor itu seperti tuntutan orang tua tehadap prestasi anak, tekanan orang tua terhadap berbagai kegiatan yang harus diikuti anak, dan kekecewaan anak akan ketidakberhasilannya dalam suatu hal. Faktor-faktor yang seperti inilah yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja, salah satunya penyalahgunaan narkoba (Gunarsa, 2001: 182-184).
Individu pengguna narkoba tidak dapat semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai faktor lingkungan diluar dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan kecenderungan tingkah laku yang khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya (Adelina, 2008: 17). Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa pengguna narkoba adalah orang yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah (Widianingsih & Nilam, 2009: 10). Baik pengguna maupun mantan pengguna, cenderung merasa dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungannya, sulit mencari pekerjaan, dan sulit bersosialisasi dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya (BNN, 2011: 93). 
Dalam proses berinteraksi dengan masyarakat remaja harus mempunyai konsep diri yang stabil. Hal ini memberi perasaan kesinambungan dan memungkinkan remaja memandang diri sendiri dalam cara yang konsisten, tidak memandang diri sendiri hari ini berbeda dengan hari lain. Ini juga meningkatkan harga diri (self esteem) dan memperkecil rasa tidak mampu (Hurlock, 1983: 235).
Brooks (dalam Santi & Ludmila, 2005: 41) menyatakan bahwa konsep diri merupakan aspek kepribadian yang penting, serta merupakan pandangan dan perasaan tentang diri kita. Konsep diri merupakan bagian yang sangat penting bagi diri seseorang, karena bila seseorang mempunyai konsep diri positif maka individu akan menerima kenyataan dari segala keterbatasannya sehingga mampu mengadakan penyesuaian terhadap lingkungan (Santi & Ludmila, 2005: 41).
Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan termasuk faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya (Djudiyah & Salis, 2010: 17).
Pada masa anak-anak konsep diri yang dipunyai seseorang biasanya berlainan dengan konsep diri yang dipunyainya ketika ia memasuki usia remajanya. Konsep diri itu sebetulnya terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap dirinya. Pada seorang anak, ia mulai belajar berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya, misalnya orang tuanya, gurunya ataupun teman-temannya (Gunarsa: 2003, 237-238).
Pada dasarnya, konsep diri itu tersusun dari dua tahapan, yaitu konsep diri primer dan konsep diri sekunder. Konsep diri primer adalah dimana konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Sedangkan konsep diri sekunder  ditentukan oleh bagaimana konsep diri primernya (Gunarsa: 2003, 238).
Remaja mantan pengguna adalah orang yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah. Mereka cenderung merasa dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungannya, sulit mencari pekerjaan, dan sulit bersosialisasi dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya (BNN, 2011: 93). Bila masyarakat menerima keadaan tersebut, maka kemungkinan konsep diri anak bisa berjalan dengan baik, akan tetapi bila didukung oleh penerimaan sosial dan lingkungan secara negatif akan menjadi pandangan pribadi dalam menilai diri negatif pada diri anak kelak (Mu’awanah & Rifa, 2004: 81).
Pelabelan terhadap hal yang negatif bagi diri inilah yang dapat mengakibatkan adanya konsep diri yang negatif bagi individu. Konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba terbentuk dari pengetahuan dirinya sendiri baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan teman-teman. Faktor orang tua, kawan sebaya dan masyarakat yang memberikan anggapan bahwa remaja mantan pengguna narkoba tidak diinginkan dalam masyarakat dan tidak disenangi orang lain. Hal ini yang menunjukkan penilaian atau evaluasi yang sebagian besar cenderung kearah konsep diri negatif (Pardede, 2008: 151).  
Memang benar bahwa pada masa terbetuknya konsep diri seorang remaja, banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor lingkungan, bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya atau tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas segala prestasi yang dibuatnya ataupun segala hukuman atas segala kesalahan-kesalahannya yang akan membentuk suatu konsep tentang dirinya sendiri (Gunarsa: 2003, 242).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba.










BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A.     Konsep Diri
1.      Pengertian Konsep Diri
Pengertian konsep diri dapat dipahami bila terlebih dahulu kita mengerti tentang self (diri) itu sendiri. Self merupakan kemampuan yang dirasa dan diyakini benar oleh seseorang mengenai dirinya sebagai seorang individu; ego dan hal-hal yang dilibatkan didalamnya (Kartono, 1987: 440). Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991: 49) diri adalah dalam dan luas, karena diri itu mengandung semua pikiran dan perasaan yang mampu diungkapkan orang itu. Diri itu juga fleksibel dan terbuka kepada semua pengalaman baru. Tidak ada bagian dari diri dilumpuhkan atau terhambat dalam ungkapannya (Schultz, 1991: 49).
William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2005: 99) mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”, yakni konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologis, sosial dan fisis (Rakhmat, 2005: 100).



Menurut Hurlock (dalam Effendi, 2004: 27) konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan prestasi. Konsep diri dilihat sebagai faktor penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Ahli ini juga menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian merupakan aspek penting terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Chaplin (1993: 450) mengemukakan bahwa konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri terbentuk karena ada interaksi individu dengan individu lain disekitarnya. Hal yang dipersepsi individu tentang dirinya, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang individu (Ellyawaty & Hari, 2007: 35).
Konsep diri (self concept) mengacu pada evaluasi bidang spesifik dari diri sendiri. Individu dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka seperti akademis, penampilan dan lain-lain. Secara ringkas konsep diri mengacu pada evaluasi bidang yang lebih spesifik (Santrock, 2002: 356).  Ada dua komponen konsep diri, yakni komponen kognitif dan komponen selektif. Komponen kognitif disebut self image (citra diri). Sedangkan komponen efektif disebut self esteem (harga diri) (Rakhmat, 2005: 100).
Konsep diri menurut Fitts (dalam Usman & Fuad, 2008: 185) adalah bagaimana diri diamati, dipersepsi dan dialami oleh individu tersebut. Selain itu makna konsep diri mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku seseorang berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama-tama dan berkaitan denga penampilan fisik, daya tariknya dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelamin serta pentingnya berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga dirinya dimata orang lain. Sedangkan citra psikologis diri sendiri didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi. Citra ini terdiri dari kualitas dan kemampuannya yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-sifat, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan (Djudiyah & Salis, 2006: 18).
Calhoun (dalam Djudiyah & Salis, 2006: 18) mengemukakan konsep diri adalah suatu konstruk yang mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman hidup manusia seperti cara berfikir, emosi, persepsi dan perilaku individu. Konsep diri menurut Pietrofesa (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 78) meliputi semua nilai, keyakinan terhadap diri seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan dan merupakan panduan diri sejumlah persepsi diri yang mempengaruhi bahkan menentukan persepsi dan tingkah laku. Sedangkan menurut Mc Candless (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 78) konsep diri merupakan seperangkat harapan dan penilaian perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut.

Berdasarkan pada pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri tentang seluruh aspek kepribadian yang terbentuk karena ada interaksi individu dengan individu lain disekitarnya, yang mempengaruhi bahkan menentukan persepsi, tingkah laku dan interaksinya dengan orang lain. 
2.      Perkembangan Konsep Diri
Bee (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 79) mengungkapkan bahwa konsep diri berkembang secara dinamis dengan adanya interaksi dengan individu yang lain khususnya lingkungan sosial. Konsep diri berkembang pada diri seseorang bermula saat anak mengobservasi fungsi dirinya sendiri seperti apa yang mereka lihat pada orang lain. Misalnya apabila ada seorang guru mengatakan secara terus menerus pada seorang anak muridnya bahwa ia kurang mampu, maka lama kelamaan anak akan mempunyai konsep diri semacam itu (Gunarsa, 2003: 238).
Konsep diri berdasarkan perkembangannya menurut Hurlock (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 79) ada 2, yaitu konsep diri primer dan konsep diri sekunder. Konsep diri primer adalah konsep diri yang terbentuk berdasarkan pengalaman anak di rumah, berhubungan dengan anggota keluarga yang lain seperti orang tua dan saudara. Konsep diri sekunder adalah konsep diri yang terbentuk oleh lingkungan luar rumah, seperti teman sebaya atau teman bermain. Jadi, apabila konsep diri primer yang dipunyai seseorang adalah bahwa ia tergolong sebagai orang pendiam, penurut, tidak nakal atau tidak suka untuk membuat keributan-keributan, maka ia akan cenderung pula memilih konsep diri yang sudah dipunyainya itu dan teman-teman barunya itulah yang nantinya menunjang terbentuknya konsep diri sekunder (Gunarsa, 2003: 239).
Berkaitan dengan hal tersebut maka sebenarnya keluarga dan interaksi lingkungan memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan konsep diri sebab pertama kali anak berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarga. Setelah keluarga berperan dan anak berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas maka anak juga berpengaruh, karena konsep diri tersebut bersifat dinamis dan bisa berubah terutama bila lingkungan mendukung untuk terjadinya perubahan konsep diri tersebut (Mu’awanah & Rifa, 2004: 79).
3.      Dimensi Konsep Diri
Menurut Rogers (dalam Corsini, 1994: 361), konsep diri memiliki beberapa dimensi antara lain:
a.       Konsep diri pribadi (personal self concept)
Konsep ini terjadi dari aspek-aspek karateristik tingkah laku, dan identitas yang meliputi gender, budaya, usia, dan sosial-ekonomi.
b.      Konsep diri sosial (social self concept)
Merupakan deskripsi sifat atau tingkah laku yang dipikirkan tentang bagaimana ia dilihat oleh orang lain.


c.       Diri ideal menurut konsep diri pribadi (self ideal regarding one’s personal self concept)
Merupakan gambaran pribadi yang diharapkan oleh individu tersebut, jadi merupakan suatu cita-cita atau angan-angan yang ingin dicapai oleh individu berkaitan dengan citra dirinya.
d.      Dirinya ideal menurut konsep diri sosial seseorang (self ideal regarding one’s social self concept)
Merupakan gambaran tentang bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain.
e.       Evaluasi hasil perbandingan antara konsep diri ideal dari sudut pribadi (evaluations of descriptive personal self conceptions in relation to ideals for self regarding those attributes)
f.        Evaluasi hasil perbandingan antara konsep diri yang nyata dengan yang ideal dari sudut sosial (evaluations of descriptive personal self conceptions in relation to ideals for one’s social self concepts)
Konsep diri akan berkembang kearah positif apabila antara yang ideal dengan sesungguhnya banyak terdapat kesamaan atau terjadi sinkronisasi.
Menurut Calhoun (dalam Djudiyah & Salis, 2010: 18) konsep diri terdiri dari 3 dimensi, yaitu:
a.       Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, yakni sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin, kewarganegaraan, termasuk juga label sosial seperti: democrat, miskin, golongan menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen dari pengetahuan seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat kualitatif, karena bersifat relatif tergantung pada kelompok pembandingnya.
b.      Harapan (expectation)
Harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan (I-should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya.
c.       Evaluasi (evaluation)
Penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni menilai antara “I could be” dan “I should be”, atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”. Hasil dari pengukuran ini akan mengahasilkan apa yang disebut self esteem. Semakin besar jarak antara keduanya maka self  esteemnya akan semakin rendah.
Evaluasi ini merupakan komponen kekuatan yang cukup ekstrim dari konsep diri, karena evaluasi ini akan muncul berbagai jenis konsep diri sebagai gambaran dari derajat nilai konsep diri seseorang. Namun deskripsi tentang konsep diri positif ataupun negatif disini adalah bersifat ekstrim, dimana seseorang bisa saja berada diantaranya atau bersifat moderat (Djudiyah & Salis, 2010: 19).
Adanya beberapa dimensi diatas, akan mempermudah untuk mendeskripsikan seseorang mempunyai ciri konsep diri positif ataupun konsep diri negatif, atau seseorang itu bisa saja berada diantara keduanya yaitu konsep diri yang bersifat moderat.  
4.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Hurlock (1983: 235) faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, yaitu:
a.       Usia kematangan
Dimana individu yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Individu yang terlambat kematangannya, diperlakukan seperti anak-anak merasa salah dimengertikan dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b.      Penampilan diri
Penampilan diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang melakukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaiaan yang menyenangkan tentang diri kepribadiaan dan menambah dukungan sosial.
c.       Kepatuhan seks
Kepatuhan seks dalam penampilan, minat dan perilaku membantu individu mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatuan seks membuat individu sadar diri dalam hal ini membari perhatian buruk pada perilakunya.
d.      Nama dan julukan
Dimana individu peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
e.       Hubungan keluarga
Seorang individu yang mempunyai hubungan yang erat dengan seseorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadiannya yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, individu akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
f.        Teman-teman sebaya
Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam dua cara. Pertama, konsep individu merupakan cermin dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadiaan yang diakui oleh kelompok.


g.       Kreatifitas
Individu yang sesama kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individu dan identifikasi yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
h.       Cita-cita
Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan, dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realitas akan kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalannya. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri yang besar yang memberikan konsep diri yang baik.
Menurut Baldwin dan Holmes (dalam Pardede, 2008: 147), terdapat beberapa faktor pembentuk konsep diri, khususnya konsep diri remaja, yakni:
a.    Orang tua
Orang tua sebagai kontak sosial yang paling awal yang kita alami, dan yang paling kuat, apa yang dikomunikasikan orang tua pada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya.
B.     Kawan sebaya
Kawan sebaya menempati kedudukan kedua setelah orangtuanya dalam mempengaruhi konsep diri, apalagi perihal penerimaan atau penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok sebayanya mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang dirinya sendiri.
C.     Masyarakat
Masyarakat yang menganggap penting fakta-fakta kelahiran dimana akhirnya penilaian ini sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri. 
D.     Belajar
Dimana muncul konsp diri bahwa konsep diri adalah hasil belajar. Dan belajar didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri kita dari pengalaman.
Beberapa faktor ini sangat mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada individu, jika faktor yang diterima individu positif akan membentuk konsep diri yang positif, sedangkan jika faktor yang diterima oleh individu negatif maka akan membentuk konsep diri yang negatif pula.





5.      Macam-macam Konsep Diri
Coopersmith (dalam Mu’awanah & Rifa, 2004: 78-79) mengemukakan bahwa tingkat konsep diri ada 3 macam:
a.       Konsep diri tinggi (positif)
Konsep diri ini akan membuat anak kreatif, mandiri, ekspresif dan percaya diri.
b.      Konsep diri menengah
Individu cenderung bergantung pada kelompok dan orang lain.
c.       Konsep diri rendah (negatif)
Yaitu bagaimana cara orang memandang terhadap dirinya yang lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, bahkan kadang merasa tidak disukai oleh orang lain dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.
6.      Ciri–ciri Konsep Diri Positif dan Negatif
Ciri-ciri konsep diri positif antara lain:
a.       Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah
b.      Merasa setara dengan orang lain
c.       Menerima pujian tanpa rasa malu
d.      Menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e.       Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk merubahnya (Rakhmat, 1994: 105).
Menurut Rogers (dalam Usman & Fuad, 2008: 184) konsep diri positif antara lain:
a.       Kemampuan menyesuaikan diri dengan baik
b.      Pengetahuan luas
c.       Harga diri tinggi
d.      Tidak mudah menyerah
e.       Selalu ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna
f.        Dan memiliki pola perilaku optimis
Apabila individu memiliki beberapa ciri-ciri diatas, maka konsep diri yang dimiliki individu tersebut adalah positif.
Sebaliknya konsep diri negatif ditandai dengan:
a.       Peka terhadap kritikan
b.      Responsif  sekali terhadap pujian
c.       Bersikap terlalu kritis terhadap orang lain
d.      Merasa tidak disenangi oleh orang lain
e.       Bersikap pesimis terhadap kompetisi (Rakhmat, 1994: 105).
Menurut Rogers (dalam Usman & Fuad, 2008: 184) konsep diri yang negatif antara lain:
a.       Individu merasa dirinya tidak diperlukan, tidak diterima, dan tidak kompeten
b.      Menganggap dirinya kurang mampu
c.       Takut menghadapi hal-hal yang baru
d.      Kurang berani memenuhi tuntutan hidupnya
e.       Bersikap defensif
f.        Dan sering menyalahkan orang lain.
Apabila individu memiliki beberapa ciri-ciri diatas, maka konsep diri yang dimiliki individu tersebut adalah rendah atau negatif.

B.     Remaja
1.      Pengertian Remaja
Remaja dari bahasa latin adolescence yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah ini mencakup arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1983: 235). Menurut Sarwono (2003: 52) masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik.
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, meningginya emosi remaja disebabkan kerana remaja dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi ganda. Sedangkan selama masa kanak-kanak remaja kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi tekanan-tekanan itu (Hurlock, 2002: 212).
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa atau masa usia belasan tahun atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2003: 2). Menurut Sarwono (2003: 8) remaja dalam arti adolescence yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.
Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih tergolong kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat (Monks, 2006: 259).
Percepatan pertumbuhan anak menjelang dan selama masa remaja ini menyebabkan tanggapan masyarakat yang berbeda pula. Mereka diharapkan memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006: 268).
Jadi, bisa dikatakan bahwa remaja adalah pertumbuhan anak menjadi dewasa, pertumbuhan itu mencakup pertumbuhan fisik, psikis dan sosialnya.
2.      Fase-fase pada Remaja
Fase-fase perkembangan pada remaja menurut Monks (2006: 262) antara lain :
a.       Remaja awal (early adolescence)
Berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun. Masa dimana remaja merasakan kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal sulit mengerti dan di mengerti orang dewasa (Sarwono, 2003: 25).
b.      Remaja tengah (midlle adolescence)
Dengan rentang usia 15 tahun sampai 18 tahun. Pada tahap ini sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana, peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, idealis atau materialis dan sebagainya (Sarwono, 2003: 25).
c.       Remaja akhir (late adolescence)
Berkisar antara usia 18 tahun sampai 21 tahun. Pada tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa (Sarwono, 2003: 25)
3.      Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havinghurs (dalam Sarwono, 2003: 40-41) sebagai berikut:
a.       Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
b.      Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.
c.       Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).
d.      Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.
e.       Mempersiapkan karir ekonomi.
f.        Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
g.       Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Menurut Gunarsa (2001: 129-131) tugas-tugas perkembangan remaja, yaitu:
a.       Menerima keadaan fisiknya
b.      Memperoleh kebebasan emosionalnya
c.       Mampu bergaul
d.      Menemukan model identifikasi
e.       Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
f.        Memperkuat pengusaan diri atas dasar skala nilai dan norma
g.       Meningkatkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan
C.     Dinamika Remaja dan Narkoba
Peristiwa makin banyaknya penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya narkoba dikalangan pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di Indonesia. Melihat kenyataan dilapangan bahwa semakin banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya pengaruh narkoba dalam kehidupan remaja di Indonesia. Yang perlu diwaspadai, kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan remaja kita ibarat fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagaian kecil saja, sementara kejadian sebenarnya sudah begitu banyak (Mardiya, 2010: 2).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1996: 148), diperoleh data yang mana umumnya kasus penyalahgunaan NAZA mulai memakai NAZA pada usia remaja (13-17 tahun) sebanyak 97% dan usia termuda 9 tahun. Dari hasil data yang diperoleh pada periode triwulan I tahun 2012 Badan Narkotika Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa sebagian besar jumlah tersangka penyalahgunaan narkoba adalah 511 atau 51, 9% dari tingkat pendidikan tersangka SMA, sedangkan urutan ke-2 tersangka dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 289 atau 29, 4% (BNP, 2012: 18).
Perlu dicermati dan diperhatikan bahwa tersangka terbesar adalah pendidikan SMA karena masa SMA merupakan masa remaja yang penuh gejolak dalam mencari jati diri sehingga jiwanya labil dan mudah terpengruh, oleh karena itu perlu diberi penyuluhan atau pembinaan tentang narkotika dan dampak buruk penyalahgunaan narkoba. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah korban penyalahgunaan narkoba pada tingkat pendidikan SMA meningkat 136 orang atau 13,8% bila dibandingkan dengan tahun 2011 sebanyak 375 orang (BNP, 2012: 19).
1.      Faktor-faktor Penggunaan Narkoba
Ada beberapa alasan penyebab seseorang itu mulai atau meneruskan pemakaian narkotika adalah sebagai berikut:
a.       Karena didorong oleh rasa ingin tahu dan iseng
b.      Agar supaya diterima dikalangan tertentu
c.       Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
d.      Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan disebabkan suatu problem yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran buntu.
e.       Untuk menetang atau melawan sesuatu otoritas (orang tua, guru, hukum) (Prakoso dkk., 1987: 492-493).
Sedangkan faktor utama yang mempengaruhi penyalahgunaan narkotika adalah:
a.       Pemakaian untuk tujuan coba-coba
Mencoba obat sekali atau beberapa kali setelah itu menghentikan sama sekali.
b.      Pemakaian untuk iseng
Pemakaian obat secara terputus-putus tanpa menimbulkan ketergantungan baik kejiwaan maupun jasmaniah.

c.       Pemakaian karena ketergantungan
Pemakaiaan obat disini untuk memperoleh kembali pengaruh obat bersangkutan atau untuk menyembuhkan rentetan gangguan jasmaniah karena kompleks gejala akibat pantang (Prakoso dkk., 1987: 492-493).
2.      Akibat Penggunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba dapat merusak kesehatan seseorang baik secara jasmani, mental maupun emosional. Penyalahgunaan tersebut menimbulkan gangguan pada perkembangan normal seseorang, daya ingat, perasaan, persepsi dan kendali diri. Karena penggunaan narkoba akan diikuti oleh perubahan pikiran, perasaan, dan perilaku maka hal-hal yang dalam kondisi normal tidak akan dilakukan seseorang, setelah memakai narkoba tersebut tidak ada yang tidak mungkin ia lakukan termasuk melukai atau membunuh orang. Bahkan dapat merubah pribadi orang yang berwatak lembut menjadi perilaku yang penuh kekerasan (BNP, 2010: 18).
Adapun dampak penyalahgunaan narkoba secara psikologis antara lain:
                      a.      Emosi labil atau tidak terkendali
                     b.      Kecenderungan untuk selalu berbohong
                      c.      Tidak memiliki tanggungjawab
                     d.      Hubungan dengan keluarga, guru, dan teman serta lingkungan terganggu
                      e.      Cenderung menghindari kontak komunilkasi dari orang lain
                       f.      Merasa dikucilkan atau menarik diri dari lingkungan
                      g.      Tidak peduli dengan nilai atau norma yang ada
                      h.      Menimbulkan gangguan konsentrasi pikiran dan sulit berfikir
                        i.      Cenderung apatis atau tak acuh, adanya kegaduhan (hilaritas), rasa khawatir (anxietas), perasaan tertekan, gelisah, agresif, memiliki rasa gembira yang berlebihan (euphoria), mudah terpengaruh dan memiliki rasa curiga.
                       j.      Menurunnya semangat bahkan bisa tidak memiliki semangat juang (syndrom amotivasional)
                     k.      Menimbulkan ilusi, depresi, kebingungan, dan gerakan menjadi lamban
                        l.      Gangguan jiwa psikotis seperti skizofrenia (BNP, 2010: 20-26).
Pengguanaan secara berkali-kali narkotika juga membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur, kenyataan sampai beberapa jauh ia bisa lepaskan diri dari penggunaan itu. Ketergantungan itu antara lain:
a.        Ketergantungan psikis (psychological dependence)
Adanya keinginan atau dorongan pada diri individu yang semakin besar akan rasa kebutuhannya terhadap narkotika. Kebutuhan itu untuk  memperoleh perasaan senang (eupnone). ketergantungan psikologis ditandai dengan timbulnya keadaan lupa pada si pemakai. Sehingga ia dapat melepaskan diri dari konflik yang tidak bisa ia atasi. Penggunaan narkotika itu kerap kali mempertahankan ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya, ia makin tidak dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya (Prakoso dkk., 1987: 494).
b.      Ketergantungan fisik (physical dependence)
Penggunaan yang terus-menerus akan menimbulkan berkurangnya kepekaan terhadap bahan itu badan menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau toterance. Akhirnya efek akan bertambah terus dan tidak dapat dihentikan (Prakoso dkk., 1987: 494-495).
Menurut Hawari (1999: 140), secara umum mereka yang menyalahgunakan NAZA dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
a.       Ketergantungan primer
Ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian yang tidak stabil.
b.      Ketergantungan sistomatis
Pengalahgunaan NAZA sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian psikopatik (antisosial), kriminal, dan pemakaian NAZA untuk kesenangan semata.
c.       Ketergantungan reaktif
Terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan teman kelompok sebaya (peer group pressure).

D.    Kerangka Teoritik
Individu pengguna narkoba tidak dapat semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai faktor lingkungan diluar dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan kecenderungan tingkah laku yang khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya (Adelina, 2008: 17). Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa pengguna narkoba adalah orang yang tidak bermanfaat dan produktivitasnya rendah (Widianingsih & Nilam, 2009: 10). Baik pengguna maupun mantan pengguna, cenderung merasa dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungannya, sulit mencari pekerjaan, dan sulit bersosialisasi dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya (BNN, 2011: 93).
Bila masyarakat menerima keadaan tersebut, maka kemungkinan konsep diri anak bisa berjalan dengan baik (positif), akan tetapi bila didukung oleh penerimaan sosial dan lingkungan secara negatif akan menjadi pandangan pribadi dalam menilai diri negatif pada diri remaja kelak (Mu’awanah & Rifa, 2004: 81).
Menurut Hurlock (dalam Effendi, 2004: 27) konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikis, sosial-emosional, aspirasi, dan prestasi. Konsep diri dilihat sebagai faktor penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Ahli ini juga menyatakan bahwa konsep diri sebagai inti kepribadian merupakan aspek penting terhadap mudah tidaknya berhubungan dengan orang lain.
Baldwin dan Holmes (dalam Pardede, 2008: 147), menjelaskan beberapa faktor pembentuk konsep diri, khususnya konsep diri remaja, yakni: Orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan pengalaman atau belajar. Faktor-faktor ini yang akan mempengaruhi bagaimana terbentuknya konsep diri seseorang.
Rogers (dalam Usman & Fuad, 2008: 184) mendefinisikan konsep diri ke dalam dua bagian yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif berhubungan erat dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan baik, pengetahuan luas, harga diri tinggi, tidak mudah menyerah, selalu ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna dan memiliki pola perilaku optimis. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membuat individu merasa dirinya tidak diperlukan, tidak diterima, tidak kompeten, menganggap dirinya kurang mampu, takut menghadapi hal-hal yang baru dan kurang berani memenuhi tuntutan hidupnya serta sering bersikap defensif dan menyalahkan orang lain.










Gambar 2.1 : Kerangka Teoritik
 






















BAB III
METODE PENELITIAN


Metode adalah cara atau jalan (Sobur, 2003: 42). Dalam konteks ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Sobur, 2003: 42). Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan itu dilandasi oleh metode keilmuan (Sugiyono, 1998: 1).  Menurut Jujun S. Suriasumantri (dalam Sugiyono, 1998: 1) metode keilmuan ini merupakan gabungan antara pendekatan rasional dan empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir yang koheren dan logis, sedangkan pendekatan empiris memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Dengan cara ilmiah itu, diharapkan data yang akan didapatkan adalah data yang obyektif, valid dan reliabel.
A.     Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2009: 3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini studi kasus. Poerwandari (2005: 108) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas anatara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Menurut Bungin (2001: 30) sifat studi kasus adalah pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek penelitian, dalam arti obyek dipelajari sebagai suatu keseluruan yang terintegrasi.
Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan integritasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari, 2005: 108). Gambaran subtansial dari penelitian studi kasus ini sesuai obyek penelitian ini yaitu berupa konsep diri remaja khususnya remaja yang pasca ketergantungan narkoba yang tergambar melalui tingkah laku yang nampak oleh remaja tersebut. Obyek penelitian berada pada kondisi alami dan tidak dimanipulasi atau diberikan perlakuan tertentu.
Data yang akan dikumpulkan cenderung tidak teratur, karena data tersebut merupakan perilaku yang menjadi kebiasaan remaja tersebut dalam sehari-hari. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, rekaman perilaku, dan dokumen melalui pengamatan dilapangan, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna yang eksplisit tentang konsep diri remaja tersebut.
Berdasarkan alasan-alasan inilah khususnya sifat dan hakekat data konsep diri remaja yang merupakan perilaku yang nampak menjadi kebiasaan sehari-hari maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Sebab dengan metode studi kasus ini akan dimungkinkan peneliti untuk memahami subyek secara pribadi dan memandang subyek sebagaimana subyek penelitian memahami dan mengenal dunianya sendiri.  
B.     Kehadiran Peneliti
Melakukan penelitian studi kasus pada hakekatnya adalah untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari, 2005: 10). Peneliti merupakan instrument utama. Oleh sebab itu, kehadiran dan keterlibatan peneliti pada penelitian ini sangat diperlukan dalam situasi sesungguhnya.
Kehadiran peneliti bukan hanya sebagai pengamat penuh yang mengobservasi berbagai kegiatan yang dilakukan subyek penelitian. Tetapi  juga untuk memperjelas dan memahami subyek tersebut, maka dari itu dilaksanakan pula wawancara secara mendalam pada subyek diluar jam kegiatan pondok atau jam sekolah.
Berkaitan dengan hal ini tentu saja kehadiran peneliti ini akan diketahui oleh subyek. Peneliti mengamati dan mewawancarai subyek selama kurang lebih dua bulan, yaitu mulai tanggal 20 April-20 Juni. Waktu selama kurang lebih dua bulan tersebut dipandang telah dapat mengumpulkan data yang dibutuhkan, selain itu memang adanya keterbatasan waktu bagi peneliti.
Kehadiran peneliti dalam penelitian ini merupakan partisipan yang dilakukan langsung oleh peneliti di pondok karena subyek lebih banyak menghabiskan waktunya di pondok dari pada di rumah. Hal ini bertujuan untuk melakukan observasi perilaku pada diri subyek yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan kondisi lingkungananya.
Untuk memperoleh data yang lebih lengkap, maka selain dilakukan wawancara secara mendalam kepada subyek, peneliti juga melakukan wawancara pada pengurus-pengurus pondok yang kesehariannya bersama dengan subyek dan memahami betul keadaan subyek.
C.     Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Suryalaya Koordinator Wilayah Jawa Timur Jl. Benteng No. 5 Surabaya yang merupakan pusat dari salah satu tempat layanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di Jawa Timur yaitu Pondok Inabah XIX Surabaya Jl. Raya Semampir No. 43-47, Semolowaru, Surabaya.
Pondok pesantren ini dibawah Yayasan Serba Bakti dan diasuh oleh KH.Moch. Ali Hanafiyah Akbar yang digunakan sebagai tempat tindak lanjut atau binaan lanjutan setelah selesai menerima binaan di Pondok Inabah XIX Surabaya yang sudah terkenal dengan metode terapinya yaitu metode dzikir Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah.
Fungsi dari terapi dzikir lanjutan ini bisa diibaratkan bagaikan tumbuhan yang keluar kuncupnya sehingga perlu dilakukan penyiraman secara terus menerus untuk menumbuhkan kekokohan jiwanya. Namun bagi anak bina yang tidak mengikuti terapi dzikir lanjutan masih sangat rentan untuk kembali terjun dan terjerumus dalam komunitas narkoba.
Progam lanjutan ini berupa majlis dzikir rutin dan manaqiban yang diadakan sebulan sekali di Ahad yang kedua. Majlis dzikir dilakukan oleh seluruh jama’ah KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar. Selain anak bina peserta yang mengikuti majlis dzikir tersebut, banyak dihadiri oleh warga sekitar dan dari luar kota. Dikarenakan KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar selaku Pembina Koordinator Wilayah Timur Indonesia, maka jama’ah yang menghadiri sangat banyak. Adapun jadwal majlis dzikir dan manaqiban sebagai berikut:     
Tabel 3.1 : Jadwal Kegiatan Rutin Majlis Dzikir dan Manaqiban
Hari
Waktu
Jenis Kegiatan
Lokasi
Ahad dan Kamis
18.00-selesai
Majlis Dzikir
Jl. Benteng No.5A
Ahad ke-2
08.00-selesai
Manaqiban
Jl. Semampir

KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar juga menerima secara langsung konseling bagi alumni pondok pesantren jika ada yang perlu ditanyakan. Banyak orang baik dari umum dan alumni anak binaan meminta tausiyah dari KH. Muhammad Ali Hanafiah Akbar agar memotivasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pondok ini terletak tidak jauh dari wisata religi Sunan Ampel Surabaya, kira-kira 20 m dari bundaran Jl. Benteng. Menghadap utara langsung ke arah jalan raya, sebelah kanan pondok ada pegadaian dan kiri pondok terdapat perkampungan, sedangkan belakang pondok terdapat pabrik atau plumas.
     Gambar 3. 2 : Peta Lokasi 1
 








Gambar 3. 3 : Peta Lokasi 2




Bangunan pondok terlihat seperti rumah mewah, tidak seperti pondok pesantren lainnya. Pondok ini, selain memiliki kegiatan khas juga dimanfaatkan sebagai tempat manasik haji atau kegiatan penting lainnya. Terdiri dari 3 lantai, yaitu lantai pertama, terdapat kurang lebih 30 kamar yang disediakan untuk santri, pengurus, dan tamu. Ada ruang tamu, kantor, beberapa kamar mandi, bagasi mobil, dapur dan taman. Lantai ke-2 dan ke-3 adalah aula yang digunakan sebaga tempat kegiatan pengajian atau pertemuan-pertemuan penting. Dan setiap aula dilengkapi kamar mandi masing-masing.   
Peraturan pondok ini sama halnya dengan pondok lain yang bisa keluar masuknya dengan izin terlebih dahulu kepada pengurus. Hanya saja pondok ini memiliki kegiatan khusus yang melekat menjadi kekhasan tersendiri.
Suasana di pondok ini sepi dan terjaga sangat aman karena tidak sembarang orang yang bisa masuk. Tamu pun yang masuk pondok ini harus lapor dulu ke pos keamanan. Kecuali malam Jum’at, malam Senin dan Ahad pagi suasana pondok ini sangat ramai, karena masyarakat berdatangan untuk mengikuti pengajian, baik dari dalam dan luar kota bahkan ada yang datang dari luar Jawa.
Pondok Pesantren Suryalaya digunakan sebagai tempat penelitian ini  dikarenakan di pondok ini sebagai tempat tindak lanjut bagi anak bina yang sudah sembuh dari proses rehabilitasi ketergantungan narkoba. Salah satu santri di pondok ini adalah seorang remaja, hal ini tentu saja menarik peneliti, karena tema penelitian ini mengisyaratkan remaja pasca ketergantungan narkoba sehingga diharapkan akan diperoleh data yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
 
D.    Sumber Data
Menurut Loffand dan Loffand sebagaimana dikutip Moleong (2009: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data yang digunakan dalam penelitian:
1.      Kata-kata dan tindakan
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancara merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis, melalui rekaman Hp.
2.      Sumber tertulis
Walaupun dikatakan bahwa sumber diluar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas hal itu tidak bisa diabaikan. Sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber buku, jurnal, majalah, dan dokumen resmi.
Sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen resmi. Dokumen resmi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tes psikologi dari subyek.
Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998: 53), prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik: (1) diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; (2) tidak ditentukan sejak awal, tetapi dapat berubah bak dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih subyek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subyek secara purposif (berdasarkan kriteria tertentu), maka peneliti dapat menentukan subyek yang sesuai dengan tema penelitian.
Adapun kriteria utama dari subyek penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Subyek merupakan seorang remaja yang pernah mengalami ketergantungan narkoba dan sudah sembuh dari proses rehabilitasi.
2.      Sehat jasmani dan rohani.
3.      Bersedia menjadi subyek penelitian.
Adapun kriteria utama dari significant others adalah sebagai berikut:
1.   Memiliki kedekatan dengan subyek
2.   Telah mengenal subyek dan mengetahui kesehariannya selama lebih dari 1 tahun.







E.     Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan (Sugiyono, 2010: 62).
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1.   Observasi
Observasi (Subagyo, 1997: 63) adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sitematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005: 118) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Penelitian ini menggunakan observasi partisipasi pasif, dimana peneliti datang ke tempat subyek penelitian, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh subyek penelitian tersebut. Observasi dilakukan di tempat remaja tinggal yaitu Pondok Pesantren Suryalaya Surabaya.
Catatan lapangan disusun oleh peneliti saat melakukan observasi. Catatan lapangan berisi tentang hal-hal yang diamati, apapun yang dianggap oleh peneliti penting. Catatan lapangn ditulis secara deskriptif, diberi tanggal waktu, dan dicatat dengan menyertakan informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan, siapa yang hadir disana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial, dan aktifitas apa yang berlangsung, dan sebagainya (Poerwandari, 1998: 71).
2.   Wawancara
Metode wawancara (Bungin, 2001: 133) adalah proses memperoleh keterangan untuk bertujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara.
Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Poerwandari, 1998: 72).
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencatumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menetukan urutan pertanyaaan, bahkan mungkin mengingatkan peneliti pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan telah dibahas atau ditanyakan.


3.   Dokumentasi
Dokumentasi atau dokumenter (Bungin, 2001: 152) adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulusuri data sebagian besar datanya adalah berbentuk surut-surat, catatan harian, kenang-kenangan, laporan dan sebagainya. Sifat utama dari data ini adalah tak terbatas ruang dan waktu sehingga member peluang kepada peneliti untuk hal-hal yang telah silam.
Dokumen sebagai sumber untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah berbagai dokumen seperti hasil tes psikologi serta berbagai dokumen lain yang dimiliki subyek.
Maksud lain dari teknik dokumentasi ini adalah untuk menjaring data yang terjaring melalui teknik wawancara dan observasi.
F.      Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini, menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010: 91) dengan langkah-langkah sebagai berikut;
1.      Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.

2.      Penyajian data (display data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori. Dan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif.
3.      Verifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukankan masih bersifat sementara dan masih dapat berubah.
Gambar 3. 4 : Alur Proses Analisis Data


 





G.    Pengecekan Keabsahan Temuan
Untuk memperoleh temuan dan interpretasi data yang absah (trustworthiness) maka perlu adanya upaya untuk melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa kriteria pengecekan keabsahan data antara lain:
1.      Uji kredibilitas
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini  dilakukan dengan:
a.       Triangulasi
Menurut Moleong (2009: 330) yaitu teknik keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan  data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Bentuk triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber yaitu dengan cara membandingkan apa yang dikatakan oleh subyek dengan yang dikatakan informan dengan maksud agar data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja yaitu subyek penelitian, tetapi juga dapat diperoleh dari sumber lain seperti pengurus pondok sebagai orang terdekat subyek. Untuk triangulasi metode, yaitu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti berusaha mengecek kembali data yang diperoleh melalui wawancara. 
b.      Kecukupan referensial
Menggunakan bahan referensi yaitu referensi yang utama berupa buku-buku psikologi yang berkaitan dengan konsep diri. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh memiliki dukungan dari teori-teori yang telah ada.
c.       Pengecekan anggota
Hal ini dimaksudkan selain untuk mereview data juga untuk mengkorfirmasikan kembali informasi atau interpretasi peneliti dengan subyek penelitian maupun informan. Dalam pengecekan anggota ini, tidak semua subyek atau informan diusahakan terlibatkan kembali, tetapi untuk informan hanya kepada mereka yang dianggap representatif oleh peneliti seperti pengurus pondok.
2.      Uji confirmability
kriteria ketegasan ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan penelitian dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat wawancara dan observasi. Apabila diketahui data-data tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat konformabilitasnya. Untuk melihat konformabilitas data, peneliti meminta bantuan kepada para ahli terutama kepada dosen pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara berulang-ulang serta dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.  




DAFTAR PUSTAKA


Adelina, I. (2008). Tipe Kepribadian pada Pengguna NAZA. Jurnal Psikologi, 16-35.
Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.
BNP. (2010). Penyalahgunaan Narkoba dan Upaya Penanggulangannya. Surabaya: Badan Narkotika Provinsi Jawa Timur.   
Chaplin, C. P. (1993). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 
Dadang, H. (1996). Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogjakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Gunarsa, S. D. (2001). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E. B. (1983). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatann Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (1998). Patologi Sosial 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kartono, K. & Dali, G. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.
Mardiya. (2010). Menyoal Penyalahgunaan Obat Terlarang Oleh Remaja. Arkhe, 15-21.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Monks, F. J. dkk. (2006). Psikologi Perkembangan dalam Berbagai-bagiannya. Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.
Prakoso, D. S. H., Bambang, R. L., & Amir, M. (1987). Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT. Bina Aksara.  
Rakhmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Retnowati, L, Yuli, S. S. & Meiske, Y. S. (2005). Persepsi Remaja Ketergantungan Napza Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitas. Arkhe 10 (2), 76-88.
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga Jilid I.
Santrock, J. W. (2003). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga Jilid II.
Sarwono, S. W. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Subagyo, P. J.  (2004). Metode Penelitian: dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Widianingsih, R., & Nilam, W. (2009). Dukungan Orangtua dan Penyesuaian Diri Remaja Mantan Pengguna Narkoba. Jurnal Psikologi, 3 (1), 10-15.
Wirawan, S. W. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yusuf, S. (2005). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yuliana, R. (2007). Gambaran Sosial Support Pecandu Narkoba. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Tidak diterbitkan.
                                                                                               



1 komentar: