Konsep Diri Remaja Pasca Ketergantungan Narkoba
Diajukan
sebagai syarat untuk menyusun skripsi dalam program S-1 Psikologi
Oleh:
Siti
Roikhanah
B07208146
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
APRIL
2012
A.
Latar
Belakang Masalah
Masa remaja merupakan suatu periode transisi
antara suatu perubahan waktu dari fase kehidupan ke kehidupan yang lain, masa
kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002: 3). Masa remaja dikenal juga dengan
masa pencarian identitas. Remaja mencoba-coba mencari ciri khasnya agar berbeda
dengan orang lain. Ingin menentukan sendiri siapa diri mereka agar diakui oleh
lingkungan keluarga. Remaja biasanya tidak mau diatur harus begini atau harus
begitu oleh orang tua sehingga terjadi pertengkaran antara orangtua dan anak
remajanya karena perbedaan pendapat (Wirawan, 2003: 24). Hal ini menimbulkan
banyak pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak terjadi
jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi
berbagai masalahnya (Hurlock, 1983: 208).
Namun bila orang tua dapat memahami maksud dan
keinginan mereka tentunya hal ini tidak terjadi. Karena kedekatan remaja dengan
orangtua dapat menunjang pembentukan kompetensi sosial dan keberadaan remaja
secara umum, serta mempengaruhi harga diri, kematangan emosional dan kesehatan
secara fisik, sehingga kenyamanan hubungan dengan orangtua menimbulkan kepuasan
bagi remaja yang akhirnya berpengaruh terhadap terbentuknya harga diri
(Widianingsih & Widyarini, 2009: 11).
Anak remaja yang kurang mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari orang tua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan
tempat berlindung dan tempat berpijak. Anak remaja ini cenderung mulai
menghilang dari rumah, lebih suka gelandangan dan mencari kesenangan hidup yang
imaginer di tempat-tempat lain (Kartono, 1997: 60). Remaja lebih banyak berada
di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah
dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Sama halnya dengan
minum, penggunaan obat-obatan dimulai sebagai kegiatan kelompok sebaya
(Hurlock, 1983: 223).
Penelitian mengenai apa yang membuat remaja
mulai menggunakan obat-obatan menunjukkan bahwa beberapa alasan lain disamping
nilai simbol status obat-obatan. Banyak remaja terdorong untuk membebaskan diri
dari segala larangan keluarga (Hurlock, 1983: 224).
Individu yang terus-menerus mengkonsumsi NAPZA
akan mengalami ketergantungan terhadap zat adiktif (NAPZA). Penyalahgunaan
NAPZA dapat berlanjut menjadi ketergantungan yang ditandai dengan toleransi dan
gejala putus obat. Ada
dua macam ketergantungan, yaitu ketergantungan fisik dan ketergantungan
psikologis. Ada
banyak usaha yang dilakukan dalam menangani ketergantungan ini, salah satunya
melalui rehabilitas. Bagi individu yang dalam proses penyembuhan atau
rehabilitas dari ketergantungan untuk kembali memakai narkoba terlebih setelah
mereka bergabung lagi kemasyarakat (Retnowati 2005: 77).
Individu pengguna narkoba tidak dapat
semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai factor lingkungan diluar
dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan kecenderungan tingkah laku yang
khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya (adelina). Orang tua mempunyai
peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap remaja mantan
pengguna narkoba. Dukungan ini pula mempengaruhi penyesuaian diri remaja pada
lingkungan masyarakat sekitarnya. semakin tinggi peranan orang tua dalam memberikan
dukungan terhadap remaja mantan pengguna narkoba akan semakin baik adaptasi
yang dilakukan oleh remaja tersebut dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagai orang terdekat, orang tua sangat memainkan penting dalam perkembangan
anaknya, apalagi jia berkaitan dengan kondisi pasca pemakaian narkoba dan
memiliki relevansi dengan adaptasi dan kehidupan anaknya dalam bermasyarakat.
Sinergi keterbukaan anak dan penerimaan serta dukungan orang tua akan sangat
membantu anak remaja dalam menghadapi kondisi pasca sembuh dari narkoba
(Widiangningsih).
Dalam proses berinteraksi dengan masyarakat
remaja harus mempunyai konsep diri yang stabil. Hal ini memberi perasaan
kesinambungan dan memungkinkan remaja memandang diri sendiri dalam cara yang
konsisten, tidak memandang diri sendiri hari ini berbeda dengan hari lain. Ini
juga meningkatkan harga diri (self esteem)
dan memperkecil rasa tidak mampu (Hurlock, 1983: 235).
Sikap atau perlakuan dari orang sekitar akan
sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan. Pengaruhnya sangat besar terhadap
keberhasilan indivudu untuk sembuh. Di satu sisi individu ingin diterima dan
didukung usahanya untuk sembuh dari ketergantungan terhadap narkoba. Di sisi
yang lain orang sekitar masih memberikan penilaian negatif terhadap individu,
tetap mencurigai dan tidak menghargai usaha yang telah dilakukan (Yurliani,
2007: 4).
Menurut Pudjijogyanti (1988: 3) konsep diri
adalah pandangan dan sikap individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Ada dua
komponen kognitif yaitu pengetahuan individu tentang keadaan dirinya sedang
komponen afektif merupakan penilaiaan individu terhadap diri dan penilaian
tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance) serta harga diri (self esteem) pada individu. Apabila pada masa remaja individu
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan diri terhadap
tugas-tugas perkembangan, maka individu akan mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan konsep dirinya. Dalam perkembangannya konsep diri bukan faktor
yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari
pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain(Pudjijogyanti, 1988:
42).
Setiap individu memiliki konsep
diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau
kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya
memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang
peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu,
maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang
positif atau baik (Rakhmat, 1991: 99).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba.
B.
Fokus
Penelitian
Bertitik tolak dari latar
belakang masalah yang telah diuraikan di atas, bahwasanya masalah yang dihadapi remaja pasca ketergantungan
narkoba adalah penilaian keluarga maupun masyarakat sekitar terhadap diri
remaja tersebut berpengaruh pada penilaian diri sendiri yang akan membentuk
atau menciptakan suatu konsep diri pada remaja itu sendiri. Maka masalah dalam penelitian ini dapat difokuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
konsep diri remaja pasca mengalami ketergantungan narkoba?
2. Bagaimana
peran orang tua atau keluarga dalam menciptakan konsep diri bagi remajanya
pasca mengalami ketergantungan narkoba?
3. Bagaimana
pesan masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri terhadap remaja pasca
ketergantungan narkoba?
C.
Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian diatas, maka tujuan dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep diri pada
remaja pasca ketergantungan narkoba.
2. Untuk
mengetahui bagaimana peran orang tua atau keluarga dalam menciptakan konsep
diri bagi remajanya pasca mengalami ketergantungan narkoba.
3. Untuk
mengetahui bagaimana pesan masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri
terhadap remaja pasca ketergantungan narkoba.
D.
Manfaat
penelitian
Dalam penelitian ini mempunyai
beberapa manfaat, antara lain:
1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan:
a. Dapat memberikan sumbangan bagi psikologi klinis dan memperkaya hasil penelitian tentang
remaja pasca ketergantungan narkoba
b. Dapat memberi gambaran mengenai konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini
diharapkan
a. Dapat memberi masukan bagi para
peneliti lainnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai remaja pasca
ketergantungan narkoba.
b. Dapat membantu memberikan informasi
khususnya kepada para remaja mengenai konsep diri mereka pasca mengalami
ketergantungan narkoba.
c. Dapat
memberi masukan pada orang tua atau keluarga tentang peran mereka dalam menciptakan
konsep diri bagi remajanya pasca mengalami ketergantungan narkoba.
d. Dapat
memberikan pesan pada masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri terhadap
remaja pasca ketergantungan narkoba.
E.
Kajian
Pustaka
1. Konsep diri
a.
Pengertian
Konsep Diri
Pengertian konsep diri dapat dipahami bila terlebih dahulu
kita mengerti tentang self (diri) itu
sendiri. William james (dalam Rakhmat, 1994: 99) mendefinisikan self sebagai suatu atau keterangan yaitu
i dan mine. Dari pandangan ini, self
dapat diartikan sebagai semua perasaan individu tentang dirinya, perasaan ini
meningkat dan berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain dan dari
perhatian orang lain terhadap diri kita. Dengan belajar untuk memperkirakan
bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap diri kita, self muncul untuk mengatur perilaku kita, terutama perilaku sosial
kita.
Konsep diri menurut Rogers (dalam Schultz, 1991: 47) adalah
kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan
membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri terbagi menjadi dua yaitu incongruence (ketidakcocokan antara self
yang dirasakan dengan pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauaan
batin) dan congruence (situasi dimana
pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh,
integral dan sejati).
Konsep diri (self
concept) mengacu pada evaluasi bidang spesifik dari diri sendiri. Individu
dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka seperti
akademis, penampilan dan lain-lain. Secara ringkas konsep diri mengacu pada
evaluasi bidang yang lebih spesifik (Santrock, 2002: 356)
Setiap individu memiliki konsep
diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau
kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya
memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang
peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu,
maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang
positif atau baik (Rakhmat, 1991: 99).
Menurut Fish (dalam Diani, 2001: 57) konsep diri adalah
bagaimana diri diamati, dipersepsikan dan dialami oleh individu tersebut karena
makna diri ini mengandung penilaian dan mempengaruhi perilaku seseorang dalam
berinteraksi.
Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988: 42) konsep diri adalah
pandangan dan sikap individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Ada dua komponen
kognitif yaitu pengetahuan individu tentang keadaan dirinya sedang komponen
afektif merupakan penilaian individu terhadap diri dan penilaian tersebut akan
membentuk penerimaan terhadap diri (self
acceptance) serta harga diri (self
esteem) pada individu.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa konsep diri merupakan gambaran atau penilaian diri sendiri terhadap keseluruan
diri baik diperoleh dari diri sendiri (internal) maupun orang lain (eksternal) yang
mana akan mempengaruhi cara diri sendiri berperilaku.
b. Dimensi
Konsep Diri
Menurut Rogers (dalam Corsini, 1994: 131), konsep diri
remaja memiliki sejumlah dimensi antara lain:
1) Konsep diri
pribadi (personal self concept) yang
terjadi dari aspek-aspek karateristik tingkah laku, dan identitas yang meliputi
gender, budaya, usia, sosial ekonomi.
2) Konsep diri
sosial (social self concept)
merupakan deskripsi sifat atau tingkah laku yang dipikirkan tentang bagaimana ia
dilihat oleh orang lain.
3) Diri ideal
menurut konsep diri pribadi (self ideal
regarding one’s social self concept) merupakan gambaran pribadi yang
diharapkan oleh individu tersebut, jadi merupakan suatu cita-cita atanu
angan-angan yang ingin dicapai oleh individu berkaitan dengan cita dirinya.
4) Dirinya
ideal meneurut konsep diri sosial seseorang (self ideal regarding one’s social self concept) merupakan gambaran
tentang bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain.
5) Evaluasi
hasil perbandingan antara konsep diri ideal dari sudut pribadi.
6) Evaluasi
hasil perbandingan antara konsep diri yang nyata dengan yang ideal. Konsep diri
akan berkembang kearah positif apabila antara yang ideal dengan sesungguhnya
banyak terdapat kesamaan atau terjadi sinkronisasi.
c. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Konsep Diri
Faktor diri seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan
psikologis dan biologis yang dibawa sejak lahir dan dipelajari selama proses
perkembangan (Hurlock 1983: 235). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep
diri seseorang, yaitu:
1) Usia Kematangan
Dimana
individu yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang dewasa, mengembangkan
konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Individu yang terlambat kematangannya, diperlakukan seperti anak-anak merasa
salah dimengertikan dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku
kurang dapat menyesuaikan diri.
2) Penampilan
Diri
Penampilan
diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang
ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang melakukan
yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya daya tarik fisik
menimbulkan penilaiaan yang menyenangkan tentang diri kepribadiaan dan menambah
dukungan sosial.
3) Kepatuhan
Sosial
Kepatuhan
sosial dalam penampilan, minat dan perilaku membantu individu mencapai konsep diri
yang baik. Ketidakpatuan sosial membuat individu sadar diri dalam hal ini
membari perhatian buruk pada perilakunya.
4) Nama
dan Julukan
Dimana
individu peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk
bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
5) Hubungan
Keluarga
Seorang
individu yang mempunyai hubungan yang erat dengan seseorang anggota keluarga
akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola
kepribadiannya yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, individu akan tertolong
untuk mengmbangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
6) Teman-teman
Sebaya
Teman-teman
sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam dua cara. Pertama, konsep
individu merupakan cermin dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang
dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri
kepribadiaan yang diakui oleh kelompok.
7) Kreatifitas
Individu
yang sesama kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam
tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individu dan identifikasi yang memberi
pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya remaja yang sejak awal masa
kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang
mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
8) Cita-cita
Bila
remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan.
Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan,
dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realitas
akan kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalannya.
Ini akan menimbulkan kepercayaan diri yang besar yang memberikan konsep diri
yang baik.
d. Komponen-komponen
Konsep Diri
Menurut Hurlock (1983: 235-237) konsep
diri memiliki tiga komponen utama, yaitu:
1) Konsep Perceptual
Sering
kali disebut konsep fisik merupakan kesan individu mengenai penampilan tubuhnya
dan kesan yang ditanamkan pada orang lain. Hal ini mencakup kesannya mengenai
daya tarik tubuhnya serta arti penting dari bagian-bagian tubuhnya bagi
perilakunya dan bagi harga dirinya dimata orang lain.
2) Komponen
Konseptual
Konsep
individu tentang karakteristik yang unik, kemampuan dan ketidakmampuan, latar
belakang dan asal-usulnya dan masa depannya. Komponen ini disebut juga konsep
diri. Dan terdiri dari kualitas-kualitas penyesuaiaan hidup seperti kejujuran,
rasa percaya diri, dan tidak percaya diri, kemandiriaannya, dan ketergantungan,
keberaniaan dan ketakutannya.
3) Komponen
Attitudal
Konsep
ini yang mencakup perasaan individu mengenai dirinya sendiri, sikapnya terhadap
status pada saat ini dan masa mendatang, perasaan kehormatan serta sikapnya
terhadap keyakinan diri, harga diri dan rasa malu. Pada saat individu mencapai
masa dewasa komponen ini juga mencakup keyakinan, pendirian, cita-cita,
nilai-nilai, aspirasi dan tanggungjawab yang secara keseluruhan akan membentuk
falsafah hidup.
e. Ciri–ciri
Remaja yang Mempunyai Konsep Diri Positif dan Negatif
Adapun ciri-ciri remaja yang
mempunyai konsep diri positif antara lain:
1) Yakin akan
kemampuannya untuk mengatasi masalah
2) Merasa setara
dengan orang lain
3) Menerima
pujian tanpa rasa malu
4) Menyadari
bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang seluruhnya
di setujui oleh masayarakat.
5) Mampu memperbaiki
diri, karena ia sanggup menggunakan aspek-aspek kepribadian yang di senanginya
dan berusaha untuk merubahnya (Rakhmat, 1994: 105).
Sebaliknya
konsep diri negatif ditandai dengan:
1) Peka
terhadap kritikan
Individu
dengan ciri ini akan mudah marah bila dikritik karena anggapan menjatuhkan
dirinya.
2) Responsif
terhadap pujian
Individu
tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya menerima pujian segala macam atribut
yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatian.
3) Bersikap
terlalu kritis terhadap orang lain
Individu
akan selalu mengeluh, mencela dan meremehkan apapun dan siapapun.
4) Merasa
tidak disenangi oleh orang lain
Individu
akan merasa tidak diperhatikan dan menganggap dirinya sehingga sistem sosial
yang beres.
5) Bersikap
pesimis terhadap kompetisi
Individu
tidak suka bersaing dengan orang lain dan ia akan selalu menganggap dirinya tidak
berdaya (Rakhmat, 1994: 105).
f.
Macam-macam Konsep Diri
a) The
Basic Self Consept
Konsep diri sama dengan konsepnya James
mengenai real self. Ini adalah konsep
diri seseorang mengenai siapa dirinya yang sesungguhnya, termasuk persepsinya
mengenai penampilannya, pemahaman terhadap kemampuan dan ketidakmampuannya,
peran dan status dalam kehidupannya serta nilai-nilai kepercayaan dirinya dan
aspirasinya. Disamping itu konsep ini realistis dimana seseorang memandang
dirinya sebagaimana ia sesungguhnya dan bahkan seperti apa adanya dia.
b) The Ideal Self Consept
Konsep ini merupakan persepsi dari apa yang
terjadi menjadi aspirasi dan apa yang seharusnya dipercayai. Hal ini berkaitan
dengan gambar fisik, gambar diri psikologis atau keduanya. Konsep diri ini
realistis dalam arti ada dalam jangkauan seseorang atau bisa juga tidak
realistis dalam arti tidak akan pernah bisa dicapai seseorang dalam kenyataan
hidupnya.
Hampir setiap orang mempunyai konsep
diri ideal disamping konsep diri basic
dan transitory. Apakah konsep diri
ideal itu realitas atau tidak sangat ditentukan sekali oleh apakah konsep diri basic atau konsep diri transitory itu mendominasi. Apabila
konsep diri idealnya adalah realistis, sebab konsep diri basic didasarkan atas penilaian yang tealistis terhadap kemampuaan
seseorang apakah konsep diri yang tidak realistis akan menjadi tinggi atau
rendah ketidakrealistisannya akan tergantung pada apakah konsep diri transitory baik atau buruk.
c) The Social Self Consept
Konsep ini didasarkan pada cara individu mempercayai
apa yang orang lain rasakan mengenai dirinya, termasuk perilaku dan
pembicaraannya. Biasanya konsep diri ini berkenaan dengan mirror image, jikalau seseorang anak terus-menerus dikatakan bahwa
ia anak nakal maka ia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak nakal.
Mungkin saja konsep dirinya ini lambat laun akan berkembang menjadi konsep diri
basic jika seseorang percaya bahwa ia
adalah seperti orang lain memandang dirinya.
d) The Transitory Self Consept
Konsep diri ini adalah konsep diri yang
kadang-kadang diharapkan atau kadang-kadang tidak. Dalam arti individu
mempunyai konsep diri yang ia pegang namun untuk sesaat kemudian ia tinggalkan.
Konsep diri ini bisa baik atau buruk, tergantung pada situasi dimana seseorang
menemukan dirinya disaat itu. Umumnya dipengaruhi oleh suasana hati dan tingkat
emosional (Hurlock, 1980: 22).
3. Remaja
a.
Pengertian Remaja
Remaja dari bahasa latin
adolescence yang artinya “tumbuh”
atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah ini mencakup arti yang luas mencakup
kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1983: 235). Fase remaja
merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan
matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi (Syamsu,
2004: 184).
Secara tradisional masa
remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana
ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar,
meninggionya emosi remaja disebabkan kerana remaja dibawah tekanan sosiall dan
menghadapi kondisi ganda. Sedangkan selama masa kanak-kanak remaja kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapi tekanan-tekanan itu (Hurlock, 2002: 212).
Remaja adalah masa
transisi dari periode anak ke dewasa atau masa usia belasan tahun atau jika
seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah
terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2003: 2). Masa remaja merupakan
suatu periode transisi antara suatu perubahan waktu dari fase kehidupan ke
kehidupan yang lain, masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002: 3).
Anak remaja sebenarnya
tidak mempunyai tempat jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak
termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Dan remaja ada diantara anak
dan dewasa. Menurut Lewin remaja berada dalam tempat marginal. Karena remaja
belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status
kanak-kanak. Dan dipandang dari segi sosial, remaja mempunyai suatu posisi
marginal (Monks, 2001: 260).
Masa remaja merupakan
masa potensial untuk mengembangkan konsep diri. Pendapat Erikson, keadaan fisik
pada masa remaja merupakan sumber pembentukan identitas diri dan konsep diri
(Pudjijogyanti, 1988: 42).
b.
Fase-fase Pada Remaja
Fase-fase
pada remaja antara lain :
a) Early Adolescence
(Remaja Awal)
Berada pada rentang usia
12 sampai 15 tahun merupakan masa
negatif yang karena menurut Buhler pada masa ini terdapat sikap dan sifat
negatif yang belum terlihat pada masa kanak-kanak. Individu sering merasa
bingung, cemas, takut dan gelisah.
b) Midlle Adolescence (Remaja Tengah)
Dengan rentang usia 15
tahun sampai 18 tahun, pada masa ini individu menginginkan atau mendampakan
sesuatu dan mencari-cari sesuatu.
c) Late Adolescence
(Remaja Akhir)
Berkisar antara usia 18
tahun sampai 21 tahun. Pada masa ini individu mulai merasa stabil. Mulai
mengenal dirinya, mulai memahami arah hidup dan menyadari tujuan hidupnya,
mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola hidup yang jelas (Monks, 2001:
262).
c.
Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja
Tugas-tugas
perkembangan masa remaja menurut Havinghurs sebagai
berikut:
1) Mencapai
hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
2) Mencapai
peran sosial sebagai pria atau wanita
3) Menerima
keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif
4) Mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5) Mencapai
jaminan kemandirian ekonomi.
6) Memilih
dan mempersiapkan karir (pekerjaan)
7) Mempersiapkan
pernikahan dan hidup berkeluarga
8) Mengembangkan
ketrampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
9) Mencapai
tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10) Memperoleh
seperangkat nilai dan system etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam
bertingkah laku (Syam, 2004: 74).
d.
Dinamika Remaja dan Narkoba
Peristiwa
makin banyaknya penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya narkoba dikalangan
pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan
keluarga-keluarga di Indonesia. Melihat kenyataan dilapangan bahwa semakin
banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya
pengaruh narkoba dalam kehidupan remaja di Indonesia. Yang perlu diwaspadai,
kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan remaja kita ibarat
fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagaian kecil saja,
sementara kejadian sebenarnya sudah begitu banyak (Mardiya, 2010: 2).
Hasil
survai Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2005 terhadap responden di kalangan
remaja dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun
dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN ini memperkuat hasil
penelitiaan Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97%
pemakai narkoba adalah para remaja (Mardiya, 2010: 2).
e.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Remaja
Menggunakan Narkoba
Ada
beberapa alasan penyebab seseorang itu mulai atau meneruskan pemakaian
narkotika adalah sebagai berikut:
1) Karena
didorong oleh rasa ingin tahu dan iseng
2) Agar
supaya diterima dikalangan tertentu
3) Untuk
melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
4) Untuk
menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan disebabkan suatu problem yang tidak
bisa diatasi dan jalan pikiran buntu.
5) Untuk
menetang atau melawan sesuatu otoritas (orang tua, guru, hukum).
Sedangkan faktor utama yang mempengaruhi
penyalahgunaan narkotika adalah:
1) Pemakaian
untuk tujuan coba-coba
Mencoba obat sekali atau beberapa kali
setelah itu menghentikan sama sekali.
2) Pemakaian
untuk iseng
Pemakaian obat secara terputus-putus tanpa
menimbulkan ketergantungan baik kejiwaan maupun jasmaniah.
3) Pemakaian
karena ketergantungan
Pemakaiaan obat disini untuk memperoleh
kembali pengaruh obat bersangkutan atau untuk menyembuhkan rentetan gangguan
jasmaniah karena kompleks gejala akibat patang (Prakoso, 1987: 492-493).
f.
Akibat Penggunaan Narkoba
Pengguanaan
secara berkali-kali narkotika membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada
narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa berat. Berat ringannya
ketergantungan ini diukur, kenyataan sampai beberapa jauh ia bisa lepaskan diri
dari penggunaan itu. Ketergantungan itu antara lain:
1) Ketergantungan
Psikis (Psychological Dependence)
Adanya keinginan atau dorongan pada diri
individu yang semakin besar akan rasa kebutuhannya terhadap narkotika.
Kebutuhan itu untuk memperoleh perasaan
senang (eupnone).
2) Ketergantungan
Fisik (Physical Dependence)
Penggunaan yang terus-menerus akan
menimbulkan berkurangnya kepekaan terhadap bahan itu badan menjadi terbiasa
sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau toterance.
Akhirnya efek akan bertambah terus dan tidak dapat dihentikan (Prakoso, 1987:
494-495).
F.
Kerangka
Teoritik
Menurut Purnomowardani dan Koentjoro (2000), penyalahgunaan
NAPZA dapat berlanjut menjadi ketergantungan yang ditandai dengan toleransi dan
gejala putus obat. Ada 2 macam ketergantungan yaitu ketergantungan fisik dan
ketergantungan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan munculnya symptom withdrawal yaitu suatu pola
tingkah laku penarikan diri yang berasosiasi dengan gejala ketagihan dan
ketergantungan zat adiktif jika seseorang menghentikan sama sekali penggunaan
NAPZA, biasa disebut dengan gejala putus obat (Retnowati dkk, 2005: 77).
Sedangkan ketergantungan psikologis ditandai dengan timbulnya keadaan lupa pada
si pemakai. Sehingga ia dapat melepaskan diri dari konflik yang tidak bisa ia
atasi. Penggunaan narkotika itu kerap
kali mempertahankan ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya,
ia makin tidak dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya (Prakoso, 1987: 494).
Hal ini yang menjadikan individu yang ketergantungan narkoba mempunyai sisi
yang berbeda dengan individu normal lainnya.
G.
Metode
Penelitian
1. Rancangan
Penelitian
Dalam
penelitian ini digunakan dengan pendekatan kualitatif. Bogdan
dan Taylor (dalam Moleong, 2009: ) mendefinisikan penelitian kualitatif sebadai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Penelitian ini
memberikan pemahaman utuh mengenai fenomena yang diteliti (Poerwandari: 2005:
9).
Sedangkan
pendekatan yang digunakan adalah studi
kasus.
Poerwandari (2005: 108) menyatakan bahwa studio kasus adalah suatu fenomena
khusus yang hadir dalam konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks
tidak sepenuhnya jelas.
Pendekatan studi kasus membuat peneliti
dapat memperoleh pemahaman utuh dan integritasi mengenai interrelasi berbagai
fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari, 2005: 108).
2. Subyek
Penelitian
Subyek
dalam penelitiaan ini adalah remaja yang pasca mengalami ketergantungan narkoba
yang sembuh dari proses rehabilitasi dan yang sudah diperbolehkan pulang ke
rumah. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah keluarga meliputi orang
tua dan saudara atau kerabat dan masyarakat meliputi tetangga dan teman dekat.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Adapun
pengumpulan data dalam penelitian ini, antara laian: wawancara, observasi dan
dokumentasi.
Banister
dkk (dalam Moleong, 2010: 135) Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila
peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan
eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui
pendekatan lain.
Observasi (Subagyo, 1997: 63) adalah pengamatan
yang dilakukan sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan
gejala-gejala psikis untuk kemudian diadakan pencatatan. Istilah observasi
diarahkan pada kegiatan meperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang
muncul dan mepertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari,
2005: 116). Observasi sebagai alat pengumpul data dapat dilakukan secara
spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya
(Subagyo, 1997: 63).
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005: 118)
tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas,
dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlihat dalam kejadian
yang diamati tersebut.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus umum
Bahasa Indonesia (2007)
mengatakan dokumen adalah Sesuatu yang
tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan
(seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian). Dalam penelitian
kualitatif dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh data secara lebih lengkap. Adapun
dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
4. Analisis
data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong,
2010: 248) adalah upaya yang dilakukan dangan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milah data, menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.
Menurut Seiddel (dalam Moleong, 2010: 248) analisis data
kualitatif berjalan sebagai berikut:
a. Mencatat
yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber
datanya tetap dapat ditelusuri.
b. Mengumpulkan,
memilah-milah, mengklasifikasi, mensintesiskan, memnuat ikhtisar dan membuat indeksnya.
c. Berpikir
dengan jalan membuat kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum.
Selanjutnya
menurut Janice McDrury (dalam Moleong, 2010: 248) tahapan analisis data
kualitatif adalah sebagai berikut:
a. Membaca
atau mempunyai data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.
b. Mempelajari
kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data.
c. Menuliskan
‘model’ yang ditemukan
d. Koding
yang dilakukan.
Teknik analisis data yang akan digunakan adalah dengan
menganalisis setiap jawaban yang diberikan oleh subjek serta melalui reduksi data yang dilakukan dengan jalan
melakukan abstraksi, abstraksi
merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan
yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Display data dengan menunjukkan atau memperlihatkan data, mengambil
kesimpulan dan verifikasi . Yakni
dengan menggunakan analisis tematik dengan melakukan koding terhadap transkip
wawancara.
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti untuk
menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Sedangkan
koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi data secara lengkap dan mendetail
sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari,
2005: 151).
5. Teknik
Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data
dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik kredibilitas (credibility) dengan triangulasi data yaitu kriteria untuk
memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan dengan
memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi ini dilakukan dengan cara membandingkan
apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara
pribadi, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang saling
berkaitan, mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk mencapai pemahaman
tentang suatu atau berbagai hal (Poerwandari 2005: 196).
Daftar Pustaka
Corsini, R.J. (1994). Encyclopedia Of Psychology (Edisi Ke-2, Vol.1) New York: John Wiley
dan Sons, inc.
Diani Dkk. (2001). Hubungan Konformitas Dengan Konsep Diri Perilaku Konsumtif Pada Remaja
Putri Dalam Phronesis. Jurnal
Psikologi, 3 (6), 56-63.
Hurlock,
E. B. (1980). Personality Development. New
Delhi: Mc. Grawa Hill.
Hurlock, E. B. (1983). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatann Sepanjang Rentang kehidupan (Edisi
Kelima), Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini.
(1997). Patologi Sosial 3. Jakarta: CV.
Rajawali.
Mardiya. (2010). Menyoal Penyalahgunaan Obat Terlarang Oleh
Remaja. 15-21.
Moleong, Lexy, J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F.J. dkk. (2001). Psikologi Perkembangan dalam
Berbagai-bagiannya. Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk penelitian
perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 UI.
Prakoso, Djoko, S. H., Bambang
Riyadi Lany, Amir Muhsin. (1987). Kejahatan-kejahatan
yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Pudjijogyanti.
(1988). Konsep Diri Dalam Pendidikan.
Jakarta: ARCAN.
Rakhmad, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Retnowati, L, Yuli S. Singgih, & Meiske Y.
Suparman. (2005). Persepsi Remaja
Ketergantungan Napza Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitas. Arkhe
10 (2), 76-88.
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga
Jilid I.
Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat. Yogjakarta: Konisius.
Syam, S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Rosda Karya.
Widianingsih, Retno, & MM. Nilam Widyarini.
(2009). Dukungan Orang Tua dan
Penyesuaian Diri Remaja Mantan Pengguna Narkoba. Jurnal Psikologi, 3 (1), 10-15.
Wirawan, S. W. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Yin, Robert K. (2008). Studi
Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rafa Grafindo Persada.
Lampiran-lampiran
Pedoman
Wawancara
1. Riwayat
Ketergantungan Narkoba
a. Kapan
pertama kali subjek mengkonsumsi narkoba?
b. Mengapa
subyek mengkonsumsi narkoba saat itu?
c. Bagaimana
keadaan (fisik) yang subjek mulai dari awal hingga saat ini?
d. Dengan
siapa subyek mengkonsumsi narkoba itu?
e. Dimana
subyek memperoleh narkoba saat itu?
f.
Apa yang subyek rasakan saat mengkonsumsi
narkoba saat itu?
2. Pasca Ketergantungan Narkoba
a. Bagaimana
perasaan subjek saat pertama putus dari ketergantungan itu?
b. Bagaimana
kehidupan yang subjek jalani setelah mengalami ketergantungan saat itu?
c. Bagaimana
hubungan subjek dengan orang-orang yang ada
di sekitarnya?
d. Apakah subjek
mengikuti kegiatan masyarakat seperti Karang Taruna?
e. Selama
ini bagaimana cara subjek menghadapi suatu masalah?
f. Bagaimana
subjek menilai diri setelah mengalami ketergantungan itu?
g. Menurut
subyek, bagaimana penilaian masyarakat (teman-teman) terhadap diri subyek
setelah mengalami ketergantungan narkoba?
h. Bagaimana
hubungan dengan keluarga setelah subyek mengalami ketergantungan itu?
i. Bagaimana
perilaku subyek setelah mengalami ketergantungan itu?
j. Bagaimana
hubungan subyek dengan teman-teman setelah mengalami ketergantungan itu?
k. Bagaimana
pergaulan subyek setelah mengalami ketergantungan itu?
l. Menurut
subyek, bagaimana penilaian teman-teman terdahap diri subyek setelah mengalami
ketergantungan itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar