Selasa, 08 Januari 2013

Konsep Diri Remaja Pasca Ketergantungan Narkoba


Konsep  Diri Remaja Pasca Ketergantungan Narkoba

Diajukan sebagai syarat untuk menyusun skripsi dalam program S-1 Psikologi




 









Oleh:
Siti Roikhanah
B07208146

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
APRIL
2012

A.     Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara suatu perubahan waktu dari fase kehidupan ke kehidupan yang lain, masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002: 3). Masa remaja dikenal juga dengan masa pencarian identitas. Remaja mencoba-coba mencari ciri khasnya agar berbeda dengan orang lain. Ingin menentukan sendiri siapa diri mereka agar diakui oleh lingkungan keluarga. Remaja biasanya tidak mau diatur harus begini atau harus begitu oleh orang tua sehingga terjadi pertengkaran antara orangtua dan anak remajanya karena perbedaan pendapat (Wirawan, 2003: 24). Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya (Hurlock, 1983: 208). 
Namun bila orang tua dapat memahami maksud dan keinginan mereka tentunya hal ini tidak terjadi. Karena kedekatan remaja dengan orangtua dapat menunjang pembentukan kompetensi sosial dan keberadaan remaja secara umum, serta mempengaruhi harga diri, kematangan emosional dan kesehatan secara fisik, sehingga kenyamanan hubungan dengan orangtua menimbulkan kepuasan bagi remaja yang akhirnya berpengaruh terhadap terbentuknya harga diri (Widianingsih & Widyarini, 2009: 11).
Anak remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Anak remaja ini cenderung mulai menghilang dari rumah, lebih suka gelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempat-tempat lain (Kartono, 1997: 60). Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Sama halnya dengan minum, penggunaan obat-obatan dimulai sebagai kegiatan kelompok sebaya (Hurlock, 1983: 223).
Penelitian mengenai apa yang membuat remaja mulai menggunakan obat-obatan menunjukkan bahwa beberapa alasan lain disamping nilai simbol status obat-obatan. Banyak remaja terdorong untuk membebaskan diri dari segala larangan keluarga (Hurlock, 1983: 224).
Individu yang terus-menerus mengkonsumsi NAPZA akan mengalami ketergantungan terhadap zat adiktif (NAPZA). Penyalahgunaan NAPZA dapat berlanjut menjadi ketergantungan yang ditandai dengan toleransi dan gejala putus obat. Ada dua macam ketergantungan, yaitu ketergantungan fisik dan ketergantungan psikologis. Ada banyak usaha yang dilakukan dalam menangani ketergantungan ini, salah satunya melalui rehabilitas. Bagi individu yang dalam proses penyembuhan atau rehabilitas dari ketergantungan untuk kembali memakai narkoba terlebih setelah mereka bergabung lagi kemasyarakat (Retnowati 2005: 77).
Individu pengguna narkoba tidak dapat semata-mata dilihat sebagai korban dari berbagai factor lingkungan diluar dirinya. Pengguna narkoba memiliki sikap dan kecenderungan tingkah laku yang khas dan berbeda dengan orang-orang seusianya (adelina). Orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap remaja mantan pengguna narkoba. Dukungan ini pula mempengaruhi penyesuaian diri remaja pada lingkungan masyarakat sekitarnya. semakin tinggi peranan orang tua dalam memberikan dukungan terhadap remaja mantan pengguna narkoba akan semakin baik adaptasi yang dilakukan oleh remaja tersebut dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai orang terdekat, orang tua sangat memainkan penting dalam perkembangan anaknya, apalagi jia berkaitan dengan kondisi pasca pemakaian narkoba dan memiliki relevansi dengan adaptasi dan kehidupan anaknya dalam bermasyarakat. Sinergi keterbukaan anak dan penerimaan serta dukungan orang tua akan sangat membantu anak remaja dalam menghadapi kondisi pasca sembuh dari narkoba (Widiangningsih). 
Dalam proses berinteraksi dengan masyarakat remaja harus mempunyai konsep diri yang stabil. Hal ini memberi perasaan kesinambungan dan memungkinkan remaja memandang diri sendiri dalam cara yang konsisten, tidak memandang diri sendiri hari ini berbeda dengan hari lain. Ini juga meningkatkan harga diri (self esteem) dan memperkecil rasa tidak mampu (Hurlock, 1983: 235).  
Sikap atau perlakuan dari orang sekitar akan sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan. Pengaruhnya sangat besar terhadap keberhasilan indivudu untuk sembuh. Di satu sisi individu ingin diterima dan didukung usahanya untuk sembuh dari ketergantungan terhadap narkoba. Di sisi yang lain orang sekitar masih memberikan penilaian negatif terhadap individu, tetap mencurigai dan tidak menghargai usaha yang telah dilakukan (Yurliani, 2007: 4).  
Menurut Pudjijogyanti (1988: 3) konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Ada dua komponen kognitif yaitu pengetahuan individu tentang keadaan dirinya sedang komponen afektif merupakan penilaiaan individu terhadap diri dan penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance) serta harga diri (self esteem) pada individu. Apabila pada masa remaja individu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan diri terhadap tugas-tugas perkembangan, maka individu akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan konsep dirinya. Dalam perkembangannya konsep diri bukan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain(Pudjijogyanti, 1988: 42).
Setiap individu memiliki konsep diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu, maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang positif atau baik (Rakhmat, 1991: 99).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba.
B.     Fokus Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, bahwasanya masalah yang dihadapi remaja pasca ketergantungan narkoba adalah penilaian keluarga maupun masyarakat sekitar terhadap diri remaja tersebut berpengaruh pada penilaian diri sendiri yang akan membentuk atau menciptakan suatu konsep diri pada remaja itu sendiri. Maka masalah dalam penelitian ini dapat difokuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep diri remaja pasca mengalami ketergantungan narkoba?
2.      Bagaimana peran orang tua atau keluarga dalam menciptakan konsep diri bagi remajanya pasca mengalami ketergantungan narkoba?
3.      Bagaimana pesan masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri terhadap remaja pasca ketergantungan narkoba?
C.     Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian diatas, maka tujuan dalam penelitian ini antara lain:
1.      Untuk mengetahui bagaimana konsep diri pada remaja pasca ketergantungan narkoba.
2.      Untuk mengetahui bagaimana peran orang tua atau keluarga dalam menciptakan konsep diri bagi remajanya pasca mengalami ketergantungan narkoba.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pesan masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri terhadap remaja pasca ketergantungan narkoba.
D.    Manfaat penelitian
Dalam penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
1.      Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan:
a.       Dapat memberikan sumbangan bagi psikologi klinis dan memperkaya hasil penelitian tentang remaja pasca ketergantungan narkoba
b.      Dapat memberi gambaran mengenai konsep diri remaja pasca ketergantungan narkoba.



2.      Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan
a.       Dapat memberi masukan bagi para peneliti lainnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai remaja pasca ketergantungan narkoba.
b.      Dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para remaja mengenai konsep diri mereka pasca mengalami ketergantungan narkoba.
c.       Dapat memberi masukan pada orang tua atau keluarga tentang peran mereka dalam menciptakan konsep diri bagi remajanya pasca mengalami ketergantungan narkoba.
d.      Dapat memberikan pesan pada masyarakat sekitar dalam membentuk konsep diri terhadap remaja pasca ketergantungan narkoba.
E.     Kajian Pustaka
1.      Konsep diri
a.       Pengertian Konsep Diri
Pengertian konsep diri dapat dipahami bila terlebih dahulu kita mengerti tentang self (diri) itu sendiri. William james (dalam Rakhmat, 1994: 99) mendefinisikan self sebagai suatu atau keterangan yaitu i dan mine. Dari pandangan ini, self dapat diartikan sebagai semua perasaan individu tentang dirinya, perasaan ini meningkat dan berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain dan dari perhatian orang lain terhadap diri kita. Dengan belajar untuk memperkirakan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap diri kita, self muncul untuk mengatur perilaku kita, terutama perilaku sosial kita.
Konsep diri menurut Rogers (dalam Schultz, 1991: 47) adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri terbagi menjadi dua yaitu incongruence (ketidakcocokan antara self yang dirasakan dengan pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauaan batin) dan congruence (situasi dimana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral dan sejati).
Konsep diri (self concept) mengacu pada evaluasi bidang spesifik dari diri sendiri. Individu dapat membuat evaluasi diri dalam banyak bidang kehidupan mereka seperti akademis, penampilan dan lain-lain. Secara ringkas konsep diri mengacu pada evaluasi bidang yang lebih spesifik (Santrock, 2002: 356)
Setiap individu memiliki konsep diri, baik itu konsep diri yang positif maupun yang negatif, hanya derajat atau kadarnya yang berbeda-beda. Kenyataan tidak ada individu yang sepenuhnya memiliki konsep diri positif atau negatif. Tetapi karena konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku individu, maka sedapat mungkin individu bersangkutan harus mempunyai konsep diri yang positif atau  baik (Rakhmat, 1991: 99).
Menurut Fish (dalam Diani, 2001: 57) konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsikan dan dialami oleh individu tersebut karena makna diri ini mengandung penilaian dan mempengaruhi perilaku seseorang dalam berinteraksi.
Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988: 42) konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap seluruh keadaan dirinya. Ada dua komponen kognitif yaitu pengetahuan individu tentang keadaan dirinya sedang komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri dan penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance) serta harga diri (self esteem) pada individu.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri merupakan gambaran atau penilaian diri sendiri terhadap keseluruan diri baik diperoleh dari diri sendiri (internal) maupun orang lain (eksternal) yang mana akan mempengaruhi cara diri sendiri berperilaku.  
b.      Dimensi Konsep Diri
Menurut Rogers (dalam Corsini, 1994: 131), konsep diri remaja memiliki sejumlah dimensi antara lain:
1)      Konsep diri pribadi (personal self concept) yang terjadi dari aspek-aspek karateristik tingkah laku, dan identitas yang meliputi gender, budaya, usia, sosial ekonomi.
2)      Konsep diri sosial (social self concept) merupakan deskripsi sifat atau tingkah laku yang dipikirkan tentang bagaimana ia dilihat oleh orang lain.
3)      Diri ideal menurut konsep diri pribadi (self ideal regarding one’s social self concept) merupakan gambaran pribadi yang diharapkan oleh individu tersebut, jadi merupakan suatu cita-cita atanu angan-angan yang ingin dicapai oleh individu berkaitan dengan cita dirinya.
4)      Dirinya ideal meneurut konsep diri sosial seseorang (self ideal regarding one’s social self concept) merupakan gambaran tentang bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain.
5)      Evaluasi hasil perbandingan antara konsep diri ideal dari sudut pribadi.
6)      Evaluasi hasil perbandingan antara konsep diri yang nyata dengan yang ideal. Konsep diri akan berkembang kearah positif apabila antara yang ideal dengan sesungguhnya banyak terdapat kesamaan atau terjadi sinkronisasi. 
c.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Faktor diri seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan psikologis dan biologis yang dibawa sejak lahir dan dipelajari selama proses perkembangan (Hurlock 1983: 235). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, yaitu:
1)      Usia Kematangan
Dimana individu yang matang lebih awal, diperlakukan seperti orang dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Individu yang terlambat kematangannya, diperlakukan seperti anak-anak merasa salah dimengertikan dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
2)      Penampilan Diri
Penampilan diri yang berbeda membuat individu merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang melakukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaiaan yang menyenangkan tentang diri kepribadiaan dan menambah dukungan sosial.

3)      Kepatuhan Sosial
Kepatuhan sosial dalam penampilan, minat dan perilaku membantu individu mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatuan sosial membuat individu sadar diri dalam hal ini membari perhatian buruk pada perilakunya.
4)      Nama dan Julukan
Dimana individu peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
5)      Hubungan Keluarga
Seorang individu yang mempunyai hubungan yang erat dengan seseorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadiannya yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, individu akan tertolong untuk mengmbangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
6)      Teman-teman Sebaya
Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian individu dalam dua cara. Pertama, konsep individu merupakan cermin dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadiaan yang diakui oleh kelompok.
7)      Kreatifitas
Individu yang sesama kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individu dan identifikasi yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
8)      Cita-cita
Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistis, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan, dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realitas akan kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalannya. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri yang besar yang memberikan konsep diri yang baik.


d.      Komponen-komponen Konsep Diri
            Menurut Hurlock (1983: 235-237) konsep diri memiliki tiga komponen utama, yaitu:
1)      Konsep Perceptual
Sering kali disebut konsep fisik merupakan kesan individu mengenai penampilan tubuhnya dan kesan yang ditanamkan pada orang lain. Hal ini mencakup kesannya mengenai daya tarik tubuhnya serta arti penting dari bagian-bagian tubuhnya bagi perilakunya dan bagi harga dirinya dimata orang lain.
2)      Komponen Konseptual
Konsep individu tentang karakteristik yang unik, kemampuan dan ketidakmampuan, latar belakang dan asal-usulnya dan masa depannya. Komponen ini disebut juga konsep diri. Dan terdiri dari kualitas-kualitas penyesuaiaan hidup seperti kejujuran, rasa percaya diri, dan tidak percaya diri, kemandiriaannya, dan ketergantungan, keberaniaan dan ketakutannya.
3)      Komponen Attitudal
Konsep ini yang mencakup perasaan individu mengenai dirinya sendiri, sikapnya terhadap status pada saat ini dan masa mendatang, perasaan kehormatan serta sikapnya terhadap keyakinan diri, harga diri dan rasa malu. Pada saat individu mencapai masa dewasa komponen ini juga mencakup keyakinan, pendirian, cita-cita, nilai-nilai, aspirasi dan tanggungjawab yang secara keseluruhan akan membentuk falsafah hidup.
e.       Ciri–ciri Remaja yang Mempunyai Konsep Diri Positif dan Negatif
            Adapun ciri-ciri remaja yang mempunyai konsep diri positif antara lain:
1)      Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah
2)      Merasa setara dengan orang lain
3)      Menerima pujian tanpa rasa malu
4)      Menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang seluruhnya di setujui oleh masayarakat.
5)      Mampu memperbaiki diri, karena ia sanggup menggunakan aspek-aspek kepribadian yang di senanginya dan berusaha untuk merubahnya (Rakhmat, 1994: 105).
Sebaliknya konsep diri negatif ditandai dengan:

1)      Peka terhadap kritikan
Individu dengan ciri ini akan mudah marah bila dikritik karena anggapan menjatuhkan dirinya.
2)      Responsif terhadap pujian
Individu tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya menerima pujian segala macam atribut yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatian.
3)      Bersikap terlalu kritis terhadap orang lain
Individu akan selalu mengeluh, mencela dan meremehkan apapun dan siapapun.
4)      Merasa tidak disenangi oleh orang lain
Individu akan merasa tidak diperhatikan dan menganggap dirinya sehingga sistem sosial yang beres.
5)      Bersikap pesimis terhadap kompetisi
Individu tidak suka bersaing dengan orang lain dan ia akan selalu menganggap dirinya tidak berdaya (Rakhmat, 1994: 105).


f.        Macam-macam Konsep Diri
a)      The Basic Self Consept
            Konsep diri sama dengan konsepnya James mengenai real self. Ini adalah konsep diri seseorang mengenai siapa dirinya yang sesungguhnya, termasuk persepsinya mengenai penampilannya, pemahaman terhadap kemampuan dan ketidakmampuannya, peran dan status dalam kehidupannya serta nilai-nilai kepercayaan dirinya dan aspirasinya. Disamping itu konsep ini realistis dimana seseorang memandang dirinya sebagaimana ia sesungguhnya dan bahkan seperti apa adanya dia.
b)      The Ideal Self Consept
        Konsep ini merupakan persepsi dari apa yang terjadi menjadi aspirasi dan apa yang seharusnya dipercayai. Hal ini berkaitan dengan gambar fisik, gambar diri psikologis atau keduanya. Konsep diri ini realistis dalam arti ada dalam jangkauan seseorang atau bisa juga tidak realistis dalam arti tidak akan pernah bisa dicapai seseorang dalam kenyataan hidupnya.
        Hampir setiap orang mempunyai konsep diri ideal disamping konsep diri basic dan transitory. Apakah konsep diri ideal itu realitas atau tidak sangat ditentukan sekali oleh apakah konsep diri basic atau konsep diri transitory itu mendominasi. Apabila konsep diri idealnya adalah realistis, sebab konsep diri basic didasarkan atas penilaian yang tealistis terhadap kemampuaan seseorang apakah konsep diri yang tidak realistis akan menjadi tinggi atau rendah ketidakrealistisannya akan tergantung pada apakah konsep diri transitory baik atau buruk.
c)      The Social Self Consept
        Konsep ini didasarkan pada cara individu mempercayai apa yang orang lain rasakan mengenai dirinya, termasuk perilaku dan pembicaraannya. Biasanya konsep diri ini berkenaan dengan mirror image, jikalau seseorang anak terus-menerus dikatakan bahwa ia anak nakal maka ia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak nakal. Mungkin saja konsep dirinya ini lambat laun akan berkembang menjadi konsep diri basic jika seseorang percaya bahwa ia adalah seperti orang lain memandang dirinya.
d)      The Transitory Self Consept
        Konsep diri ini adalah konsep diri yang kadang-kadang diharapkan atau kadang-kadang tidak. Dalam arti individu mempunyai konsep diri yang ia pegang namun untuk sesaat kemudian ia tinggalkan. Konsep diri ini bisa baik atau buruk, tergantung pada situasi dimana seseorang menemukan dirinya disaat itu. Umumnya dipengaruhi oleh suasana hati dan tingkat emosional (Hurlock, 1980: 22).
3.      Remaja
a.       Pengertian Remaja
Remaja dari bahasa latin adolescence yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah ini mencakup arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1983: 235). Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi (Syamsu, 2004: 184).
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, meninggionya emosi remaja disebabkan kerana remaja dibawah tekanan sosiall dan menghadapi kondisi ganda. Sedangkan selama masa kanak-kanak remaja kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi tekanan-tekanan itu (Hurlock, 2002: 212).
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa atau masa usia belasan tahun atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2003: 2). Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara suatu perubahan waktu dari fase kehidupan ke kehidupan yang lain, masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2002: 3).
Anak remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Dan remaja ada diantara anak dan dewasa. Menurut Lewin remaja berada dalam tempat marginal. Karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Dan dipandang dari segi sosial, remaja mempunyai suatu posisi marginal (Monks, 2001: 260).
Masa remaja merupakan masa potensial untuk mengembangkan konsep diri. Pendapat Erikson, keadaan fisik pada masa remaja merupakan sumber pembentukan identitas diri dan konsep diri (Pudjijogyanti, 1988: 42).
b.   Fase-fase Pada Remaja
      Fase-fase pada remaja antara lain :
a)      Early Adolescence (Remaja Awal)
Berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun  merupakan masa negatif yang karena menurut Buhler pada masa ini terdapat sikap dan sifat negatif yang belum terlihat pada masa kanak-kanak. Individu sering merasa bingung, cemas, takut dan gelisah.
b)      Midlle Adolescence (Remaja Tengah)
Dengan rentang usia 15 tahun sampai 18 tahun, pada masa ini individu menginginkan atau mendampakan sesuatu dan mencari-cari sesuatu.
c)      Late Adolescence (Remaja Akhir)
Berkisar antara usia 18 tahun sampai 21 tahun. Pada masa ini individu mulai merasa stabil. Mulai mengenal dirinya, mulai memahami arah hidup dan menyadari tujuan hidupnya, mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola hidup yang jelas (Monks, 2001: 262).
c.       Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja
      Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havinghurs    sebagai berikut:
1)      Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
2)      Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita
3)      Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif
4)      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5)      Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
6)      Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan)
7)      Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga
8)      Mengembangkan ketrampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
9)      Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
10)  Memperoleh seperangkat nilai dan system etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam bertingkah laku (Syam, 2004: 74).
d.      Dinamika Remaja dan Narkoba
            Peristiwa makin banyaknya penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya narkoba dikalangan pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di Indonesia. Melihat kenyataan dilapangan bahwa semakin banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya pengaruh narkoba dalam kehidupan remaja di Indonesia. Yang perlu diwaspadai, kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan remaja kita ibarat fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagaian kecil saja, sementara kejadian sebenarnya sudah begitu banyak (Mardiya, 2010: 2).
            Hasil survai Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2005 terhadap responden di kalangan remaja dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN ini memperkuat hasil penelitiaan Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba adalah para remaja (Mardiya, 2010: 2).
e.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Remaja Menggunakan Narkoba
            Ada beberapa alasan penyebab seseorang itu mulai atau meneruskan pemakaian narkotika adalah sebagai berikut:
1)      Karena didorong oleh rasa ingin tahu dan iseng
2)      Agar supaya diterima dikalangan tertentu
3)      Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.
4)      Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan disebabkan suatu problem yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran buntu.
5)      Untuk menetang atau melawan sesuatu otoritas (orang tua, guru, hukum).
Sedangkan faktor utama yang mempengaruhi penyalahgunaan narkotika adalah:
1)      Pemakaian untuk tujuan coba-coba
Mencoba obat sekali atau beberapa kali setelah itu menghentikan sama sekali.
2)      Pemakaian untuk iseng
Pemakaian obat secara terputus-putus tanpa menimbulkan ketergantungan baik kejiwaan maupun jasmaniah.
3)      Pemakaian karena ketergantungan
Pemakaiaan obat disini untuk memperoleh kembali pengaruh obat bersangkutan atau untuk menyembuhkan rentetan gangguan jasmaniah karena kompleks gejala akibat patang (Prakoso, 1987: 492-493).
f.        Akibat Penggunaan Narkoba
            Pengguanaan secara berkali-kali narkotika membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur, kenyataan sampai beberapa jauh ia bisa lepaskan diri dari penggunaan itu. Ketergantungan itu antara lain:
1)      Ketergantungan Psikis (Psychological Dependence)
Adanya keinginan atau dorongan pada diri individu yang semakin besar akan rasa kebutuhannya terhadap narkotika. Kebutuhan itu untuk  memperoleh perasaan senang (eupnone).
2)      Ketergantungan Fisik (Physical Dependence)
Penggunaan yang terus-menerus akan menimbulkan berkurangnya kepekaan terhadap bahan itu badan menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau toterance. Akhirnya efek akan bertambah terus dan tidak dapat dihentikan (Prakoso, 1987: 494-495).
F.      Kerangka Teoritik
Menurut Purnomowardani dan Koentjoro (2000), penyalahgunaan NAPZA dapat berlanjut menjadi ketergantungan yang ditandai dengan toleransi dan gejala putus obat. Ada 2 macam ketergantungan yaitu ketergantungan fisik dan ketergantungan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan munculnya symptom withdrawal yaitu suatu pola tingkah laku penarikan diri yang berasosiasi dengan gejala ketagihan dan ketergantungan zat adiktif jika seseorang menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA, biasa disebut dengan gejala putus obat (Retnowati dkk, 2005: 77). Sedangkan ketergantungan psikologis ditandai dengan timbulnya keadaan lupa pada si pemakai. Sehingga ia dapat melepaskan diri dari konflik yang tidak bisa ia atasi.  Penggunaan narkotika itu kerap kali mempertahankan ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya, ia makin tidak dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya (Prakoso, 1987: 494). Hal ini yang menjadikan individu yang ketergantungan narkoba mempunyai sisi yang berbeda dengan individu normal lainnya.  
G.    Metode Penelitian
1.      Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan dengan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2009: ) mendefinisikan penelitian kualitatif sebadai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Penelitian ini memberikan pemahaman utuh mengenai fenomena yang diteliti (Poerwandari: 2005: 9).
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Poerwandari (2005: 108) menyatakan bahwa studio kasus adalah suatu fenomena khusus yang hadir dalam konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas.
      Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan integritasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari, 2005: 108).
2.      Subyek Penelitian
      Subyek dalam penelitiaan ini adalah remaja yang pasca mengalami ketergantungan narkoba yang sembuh dari proses rehabilitasi dan yang sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah keluarga meliputi orang tua dan saudara atau kerabat dan masyarakat meliputi tetangga dan teman dekat.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini, antara laian: wawancara, observasi dan dokumentasi.
Banister dkk (dalam Moleong, 2010: 135) Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Observasi (Subagyo, 1997: 63) adalah pengamatan yang dilakukan sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian diadakan pencatatan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan meperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mepertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2005: 116). Observasi sebagai alat pengumpul data dapat dilakukan secara spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya (Subagyo, 1997: 63).
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005: 118) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus umum Bahasa Indonesia (2007) mengatakan dokumen adalah  Sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian). Dalam penelitian kualitatif dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh data secara lebih lengkap. Adapun dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
4.      Analisis data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong, 2010: 248) adalah upaya yang dilakukan dangan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah data, menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Menurut Seiddel (dalam Moleong, 2010: 248) analisis data kualitatif berjalan sebagai berikut:
a.       Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b.      Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasi, mensintesiskan,   memnuat ikhtisar dan membuat indeksnya.
c.       Berpikir dengan jalan membuat kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum.
Selanjutnya menurut Janice McDrury (dalam Moleong, 2010: 248) tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:
a.     Membaca atau mempunyai data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.
b.    Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data.
c.     Menuliskan ‘model’ yang ditemukan
d.    Koding yang dilakukan.
Teknik analisis data yang akan digunakan adalah dengan menganalisis setiap jawaban yang diberikan oleh subjek serta melalui reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi, abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Display data dengan menunjukkan atau memperlihatkan data, mengambil kesimpulan dan verifikasi . Yakni dengan menggunakan analisis tematik dengan melakukan koding terhadap transkip wawancara.
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti untuk menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Sedangkan koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2005: 151).
5.      Teknik Keabsahan Data
      Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini adalah  menggunakan teknik kredibilitas (credibility) dengan triangulasi data yaitu kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi ini dilakukan dengan cara membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang saling berkaitan, mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk mencapai pemahaman tentang suatu atau berbagai hal (Poerwandari 2005: 196).




Daftar Pustaka
Corsini, R.J. (1994). Encyclopedia Of Psychology (Edisi Ke-2, Vol.1) New York: John Wiley dan Sons, inc.
Diani Dkk. (2001). Hubungan Konformitas Dengan Konsep Diri Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri Dalam Phronesis. Jurnal Psikologi, 3 (6), 56-63.
Hurlock, E. B. (1980). Personality Development. New Delhi: Mc. Grawa Hill.
Hurlock, E. B. (1983). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatann Sepanjang Rentang kehidupan (Edisi Kelima), Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini. (1997). Patologi Sosial 3. Jakarta: CV. Rajawali.
Mardiya. (2010). Menyoal Penyalahgunaan Obat Terlarang Oleh Remaja. 15-21.
Moleong, Lexy, J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F.J. dkk. (2001). Psikologi Perkembangan dalam Berbagai-bagiannya. Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 UI.
Prakoso, Djoko, S. H., Bambang Riyadi Lany, Amir Muhsin. (1987). Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT. Bina Aksara.  
Pudjijogyanti. (1988). Konsep Diri Dalam Pendidikan. Jakarta: ARCAN.
Rakhmad, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Retnowati, L, Yuli S. Singgih, & Meiske Y. Suparman. (2005). Persepsi Remaja Ketergantungan Napza Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitas. Arkhe 10 (2), 76-88.
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Erlangga Jilid I.
Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat. Yogjakarta: Konisius.
Syam, S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Rosda Karya.
Widianingsih, Retno, & MM. Nilam Widyarini. (2009). Dukungan Orang Tua dan Penyesuaian Diri Remaja Mantan Pengguna Narkoba. Jurnal Psikologi, 3 (1), 10-15.
Wirawan, S. W. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yin, Robert K. (2008). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rafa Grafindo Persada.
                                                                                                Lampiran-lampiran
Pedoman Wawancara
1.      Riwayat Ketergantungan Narkoba
a.  Kapan pertama kali subjek mengkonsumsi narkoba?
b. Mengapa subyek mengkonsumsi narkoba saat itu?
c.  Bagaimana keadaan (fisik) yang subjek mulai dari awal hingga saat ini?
d. Dengan siapa subyek mengkonsumsi narkoba itu?
e.  Dimana subyek memperoleh narkoba saat itu?
f.   Apa yang subyek rasakan saat mengkonsumsi narkoba saat itu?
2.      Pasca Ketergantungan Narkoba
a.    Bagaimana perasaan subjek saat pertama putus dari ketergantungan itu?
b.    Bagaimana kehidupan yang subjek jalani setelah mengalami ketergantungan saat itu?
c.    Bagaimana hubungan subjek dengan orang-orang yang ada  di sekitarnya?
d.    Apakah subjek mengikuti kegiatan masyarakat seperti Karang Taruna?
e.    Selama ini bagaimana cara subjek menghadapi suatu masalah?
f.      Bagaimana subjek menilai diri setelah mengalami ketergantungan itu?
g.    Menurut subyek, bagaimana penilaian masyarakat (teman-teman) terhadap diri subyek setelah mengalami ketergantungan narkoba?
h.    Bagaimana hubungan dengan keluarga setelah subyek mengalami ketergantungan itu?
i.      Bagaimana perilaku subyek setelah mengalami ketergantungan itu?
j.      Bagaimana hubungan subyek dengan teman-teman setelah mengalami ketergantungan itu?
k.    Bagaimana pergaulan subyek setelah mengalami ketergantungan itu?  
l.      Menurut subyek, bagaimana penilaian teman-teman terdahap diri subyek setelah mengalami ketergantungan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar